Jika kita mengikuti kekaryaan I Wayan Suja sejak awal tahun 2000-an, maka dari lukisan-lukisannya dapat ditarik satu benang merah tematik yang cukup kuat merajut pemikirannya, yaitu persoalan identitas dalam konteks budaya Bali. Sebagai seniman yang lahir dan tumbuh dalam lingkup kebudayaan tersebut, wajar jika hingga kini Suja terus mempertanyakan konstruksi identitas pada masyarakat di sekitarnya, yang sekaligus melekat pada dirinya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul berkaitan dengan berbagai dinamika sosial yang terjadi di Bali saat ini. Benarkah identitas merupakan sesuatu yang terberi, melekat begitu saja, dan diwariskan secara turun-temurun berdasarkan ikatan darah, etnisitas atau kebudayaan tertentu?
Berkaca pada situasi terkini yang menunjukkan semakin menguatnya gerakan politik identitas di berbagai penjuru dunia, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Suja terhadap identitas masyarakatnya menjadi sangat relevan. Sebab Bali, juga bagian dari dinamika politik dunia. Situasi sosial yang terjadi di Bali, secara langsung terhubung dengan kondisi yang terjadi di luar sana. Sebagai sebuah gerakan politik, tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap politik identitas mengacu pada persamaan latar belakang yang mengikat mereka ke dalam satu ikatan sosial. Politik identitas sendiri, selain menjadi pemersatu bagi suatu kelompok masyarakat, ternyata juga menciptakan segregasi sosial yang semakin kentara batasnya. Bahkan, kerap menjadi alasan bagi tindakan kekerasan oleh suatu kelompok terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dalam berbagai konteks sosial, identitas tidak pernah bisa dimaknai secara tunggal hanya dengan berdasarkan pada satu aspek yang melatarinya, melainkan secara mutlak selalu bersifat majemuk dan multilayer. Kerangka identitas tersebut tersusun dari berbagai lapisan yang nampak di permukaan maupun yang tak kasat mata. Meskipun dalam beberaka kasus, klasifikasi identitas justru dipukul rata hanya berdasarkan pada kesadaran atas kesamaan etnis, kebudayaan, atau agama. Tanpa melihat bahwa ada lapisan lain yang membentuk identitas tersebut, yang mengacu pada peristiwa ataupun pengalaman-pengalaman individu yang menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut. Pada karya-karya awalnya, Suja banyak mengajukan pertanyaan tentang benturan antara identitas ke’Bali’an yang secara umum dipahami melalui kebudayaan tradisionalnya, dengan masuknya pengaruh modernisme yang telah merasuk ke berbagai sektor kehidupan masyarakat Bali. Bagi kalangan konservatif, gambaran tersebut akan terlihat begitu kontras karena menghadirkan tradisionalisme secara oposisi biner dengan modernisme. Sementara bagi Suja, identitas dipahami sebagai sesuatu yang akan selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman dan konteks sosial yang terjadi. Karena itulah, pada karya-karyanya yang terdahulu, Suja dengan berani melepaskan figur-figur lukisannya dari berbagai atribut tradisi yang melekat pada masyarakat Bali, lalu menggantinya dengan berbagai produk yang melambangkan spirit modernitas. Pandangan konservatif yang mengklasifikasi identitas ke’Bali’an secara identik dengan kebudayaan tradisional Bali memang secara umum diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal, jika kita kaji lebih mendalam, kondisi ini tidak tercipta begitu saja, melainkan hasil konstruksi politik di masa lalu. Jejaknya tentu bisa dirunut hingga masa kolonial, pasca berakhirnya perang Puputan Klungkung dan dimulainya pendudukan Hindia Belanda atas Bali, sejak itulah proses pembentukan identitas masyarakat Bali “baru” menjadi proyek yang dijalankan melalui kebijakan politik etis Baliseering. Upaya merekonstruksi identitas masyarakat Bali pada masa itu erat kaitannya dengan kepentingan politik pemerintah Hindia Belanda, selain untuk mendepolitisasi gerakan masyarakat, juga menjadi upaya untuk memperbaiki citra Belanda di mata dunia. Sejak itulah, masyarakat Bali dipaksa untuk menerima identitas baru mereka sebagai Bali yang harmonis, indah, dan eksotis. Pergolakan identitas masyarakat Bali tidak berhenti di sana, kuasa politik terpusat pada masa Orde Baru justru menekan dinamika kultural masyarakat Bali selama lebih dari tiga dekade. Selama itu pula, gejolak identitas masyarakat Bali seperti bara dalam sekam, sebagai akibat dari adanya represi sekaligus eksploitasi terhadap alam dan kebudayaan Bali demi kepentingan pembangunan industri pariwisata. Berbagai elemen kebudayaan tradisional Bali pun mengalami desakralisasi dan komodifikasi, termasuk pada sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya. Pasca runtuhnya rezim orde baru, telah terjadi pergeseran tata nilai dalam masyarakat Bali yang cukup signifikan. Dinamika kultural yang sebelumnya dikekang oleh kuasa politik yang terpusat, menemukan momentum kebangkitannya, yang kemudian berimbas secara langsung pada konstelasi sosial dalam melakukan identifikasi terhadap kebudayaan Bali secara menyeluruh. Kelompok masyarakat konservatif secara dominan menggaungkan kembali kebudayaan tradisional Bali sebagai prinsip utama identitas mereka. Selain momen kebangkitan politik kebudayaan tersebut, tragedi bom Bali juga menimbulkan gerakan politik identitas bagi masyarakat Bali yang menempatkan mereka pada kesadaran etnosenstris yang kuat. Sebagai seorang seniman, secara pribadi Suja mengalami gejolak seputar identitas ke’Bali’an dalam karya seni yang diciptakan olehnya. Benarkah menjadi seniman Bali harus melukiskan elemen-elemen tradisional dari kebudayaan Bali? Mungkinkah menangkap realitas sosial yang terjadi tanpa harus menggunakan atribut lokal? Pertanyaan semacam itu mungkin terlalu deras Ia rasakan dalam dirinya. Pada sejumlah karyanya, Suja memang menghadirkan potret dari figur-figur yang mudah untuk diidentifikasi sebagai “Bali” karena mengenakan atribut yang nampak jelas (seperti figur perempuan dengan busana dan aksesoris tradisional Bali). Namun figur-figur tersebut disamarkan dengan lapisan transparan dari plastik kemasan berbagai produk industri yang lazim kita konsumsi sehari-hari. Maknanya, bisa jadi identitas telah menjadi komoditas yang kita terima dan konsumsi setiap hari. Namun pada seri karya terbarunya yang dihadirkan pada pameran Re-Imaging Identity ini, Suja tengah melakukan transformasi pada gagasan dan kekaryaannya secara hampir menyeluruh. Medium cat minyak yang dulu dominan pada karyanya, kini berganti dengan cat akrilik. Perubahan medium ini sekaligus menuntut perubahan teknis pengerjaan karyanya, sekaligus pada efek yang dihasilkan dari karakter medium yang berbeda. Namun, secara sadar hal tersebut dikontekstualisasikan oleh Suja ke dalam konsep kekaryaannya kini. Jika pada lukisannya terdahulu, figur-figur ditampilkan dengan sapuan kuas yang halus, kini lukisannya justru lebih banyak menampilkan goresan-goresan palet yang tebal dan cenderung kasar. Visual tersebut dapat kita maknai sebagai cara pandang Suja saat ini terhadap identitas ke’Bali’an yang terkonstruksi pada masyarakat di sekitarnya, sekaligus melekat pada dirinya. Penggambaran potret para figur dalam lukisan-lukisan Suja saat ini yang secara kontras dibenturkan dengan latar belakang yang ekspresif, kasar dan cenderung abstrak merupakan sebentuk antitesis terhadap citra umum tentang identitas masyarakat Bali yang selama ini digambarkan secara harmonis, serba teratur, dan eksotis. Lukisan-lukisan tersebut dapat dimaknai bahwa di balik keindahan citra tentang Bali yang selama ini kita terima begitu saja, ternyata menyimpan banyak lapisan yang kontradiktif di baliknya. Identitas Bali saat ini dibentuk melalui rangkaian peristiwa, gejolak sosial, termasuk luka sejarah. Namun oleh kepentingan politik dan ekonomi, bekas luka itu dipupur tebal hingga nampak mulus dan mempesona. Melalui lukisan-lukisan Suja, kita diajak kembali untuk meresapi bahwa apa yang nampak indah di permukaannya, tidak selalu sama di baliknya. Termasuk dalam memandang identitas (manusia) Bali. *)Dwi S. Wibowo, penulis seni dan sastra
0 Comments
|
Authorsenidibali is an independent platform that promotes arts, artists, exhibition, art events and art spaces in Bali. Archives
November 2019
Categories |