Setelah keberangkatan Minikino ke Austin, Texas sejak tanggal 9 Maret, akhirnya Minikino kembali menginjakkan kaki di Bali pada tanggal 19 Maret lalu. Selama empat hari di tanggal 11-14 Maret, mewakilkan Minikino adalah Program Director Fransiska Prihadi dan Executive Director Made Suarbawa, menggelar pameran di Paviliun Archipelageek dalam Trade Show South by Southwest (SXSW) 2018.
Fransiska Prihadi mengemukakan kesannya terhadap SXSW 2018 saat pertama kali sampai di Bandara Austin. “Kami langsung bisa merasakan suasana festival. Bagi saya, suasana tersebut terasa dekat dengan masyarakat. Ini benar-benar festival yang sangat strategis dan mengaktifkan kota Austin. Seluruh warga Austin disana ikut bangga dan ikut memanfaatkan keramaian festivalnya,” ujarnya. Tepat sehari sebelum Trade Show SXSW 2018 dimulai, para delegasi Indonesia mendapatkan kesempatan berdialog dan mendapat arahan dari Deputy Chairman for Infrastructure BEKRAF, Dr.Hari Sungkari untuk memantapkan visi dan misi masing-masing delegasi dalam kesempatan Trade Show ini, Minikino merupakan satu-satunya organisasi festival film pendek internasional yang diipilih bersama enam perusahaan start-up asal Indonesia, yaitu Kata.ai, Seruniaudio, Saft7robotics, Squiline, Mycotech, dan Vestifarm. Semuanya ditempatkan dalam pavilion Indonesia dengan brand ‘Archipelageek’. Meski seluruh delegasi memiliki kepentingan untuk memperkenalkan dan mempromosikan produknya masing-masing, namun Fransiska Prihadi menegaskan bahwa delegasi Indonesia sangat menjaga kekompakan dengan saling mengenal produk satu sama lain serta saling mendukung promosi seluruh delegasi di Archipelageek SXSW2018. “Setelah berkenalan dengan mereka satu per satu, saya makin bangga pada kemampuan bangsa Indonesia. Semuanya hebat, dan saya rasa komite kurasi Bekraf cukup bernyali untuk membawa mereka. Sebab mereka bukan brand yang sudah besar, tapi Bekraf percaya potensi mereka dan mengambil resiko itu,” imbuhnya. Selama empat hari berpameran, Minikino menarik perhatian banyak pengunjung SXSW 2018 dengan Digital Totem Film Library serta foto-foto yang dipajang di booth. Made Suarbawa turut menceritakan pertemuannya dengan salah seorang pengunjung yang terharu melihat foto anak-anak yang sedang menonton Pop-Up Cinema (Layar Tancap). Foto ini diambil oleh tim dokumentasi ‘Saya Bercerita’ pada ajang 3rd Minikino Film Week tahun lalu. “Bapak itu sampai menitikkan airmata melihatnya. “Anak-anak saya disini bisa dengan mudah pergi ke bioskop. Mereka yang disana justru tidak memiliki akses untuk menonton film layar lebar,” tuturnya. Di hari terakhir Trade Show, tanggal 14 Maret 2018, Minikino beserta seluruh delegasi Indonesia berkesempatan memberikan presentasi dalam acara “The Power of Indonesian Creative Economy” atas undangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Houston, Indonesian-American Chamber of Commerce of Southeastern Central USA (IACC-SCU) dan BEKRAF. Acara ini dibuka dengan sambutan dari Konsul Jendral RI untuk Amerika, Dr. Nana Yuliana dan Deputi Pemasaran BEKRAF Joshua Puji Mulia Simandjuntak. Dalam kesempatan ini Minikino memaparkan profil, visi dan misi kerja Minikino sebagai organisasi festival film pendek internasional berbasis di Bali . Keikutsertaan di SXSW Trade Show 2018 untuk Minikino membuahkan berbagai pertemuan secara kelembagaan dengan beberapa festival film di Amerika, antara lain Austin Asian American Film Festival, Austin Film Festival, Cinelas Americas dan Montana Film Office. Selain juga pertemuan langsung dengan akademisi professor Andrew Garrison dan beberapa filmmaker yang hadir di SXSW. Pertemuan ini juga menghasilkan kesepakatan tak tertulis (gentleman agreement) dengan Austin Film Festival untuk saling bertukar program film pendek di tahun 2018 dan melihat kemungkinan kerja sama jangka panjang. Di Indonesia sendiri, dengan keberangkatan Minikino sebagai bagian pavilion Indonesia - Archipelageek di SXSW Trade Show 2018 ini mempertegas pengakuan pemerintah Indonesia kepada berbagai program kerja Minikino, antara lain jaringan pertukaran program film pendek nasional 'Indonesia Raja' serta program pertukaran film pendek antar negara di Asia Tenggara 'S-Express' yang telah berjalan 15 tahun lebih. Sebelum SXSW 2018, Minikino sudah mendapat perhatian dari para pembuat film, produser dan distributor film pendek di Amerika. Minikino Film Week tahun lalu bahkan telah menganugerahkan International Award kepada Graciela Sarabia untuk karyanya "Carrot & Pickle" yang meraih gelar film internasional anak anak terbaik 2017. Namun, dengan menghadiri SXSW 2018, pertemuan langsung dengan lebih banyak pihak dan kolaborasi di masa mendatang, hal ini juga semakin menguatkan posisi brand Minikino di masyarakat Amerika, khususnya yang memiliki perhatian terhadap film pendek.
0 Comments
REDBASE Foundation will open the exhibition titled "UNDER THE SKIN" an artist in residence exhibition #9 by Citra Sasmita
Opening: Saturday, 31 March 2018, 4 pm Venue: REDBASE Yogyakarta Ds. Jurug RT 02, No. 72 Bangunharjo, Sewon, Bantul Yogyakarta 55187 INDONESIA Performance by: Ayu Permata Sari Exhibition period: 31 March - 28 April 2018 Ending her residency at Redbase Foundation Yogyakarta, Citra Sasmita will hold her solo exhibition entitled Under The Skin. This exhibition is the final presentation of Citra’s residency in Redbase Foundation Yogyakarta for approximately three months. Citra Sasmita is a young artist born in Tabanan, Bali March 30, 1990. She took her formal education at Udayana University of English Literature Department and Department of Physics at Ganesha University of Education. Although she hasn’t took a formal education in art, she began her artistic career as a short story illustrator for Bali Post since 2012. Her works mostly show women’s world theme, especially in the context of Balinese culture that is strongly dominated by patriarchal nuances and sexuality. During her three month residency at the Redbase Foundation Yogyakarta, Citra has explored the theme of women in the context of Javanese culture, which is reflected through the social relationship between the female body with space and time. Citra perceives traditional market as a social contestation space for women who are soft but egalitarian as well. For her, the traditional market is an open space to bring people together from diverse backgrounds. Despite her deep exploration of women in the context of Javanese culture, in some of her works, Citra still uses her previous visual idioms. For her, this is her body’s experience in absorbing two different cultures The well known street artist - Slinat - will held a "Wheat Paste After the Street Workshop" this Saturday at Rumah Sanur. Wheat paste is one of the weapons used by street artists to paste images on the wall. Activists and various subculture proponents often use this adhesive to flypost propaganda and artwork. Easy, fast and Bomb! This workshop will invite the participant to create a work by tide patch technique, onto the medium (cardboard or cloth) by using wheat paste, and you can paint it with spray paint typically used by street artist. In conjuction with this program that initiated by Ketemu Project, Slinat will also showcasing his recent works that will be happen from 24 March - 14 April 2018 also at Rumah Sanur. I Lope Bali is just a prank to parodied I Love Bali, "Lope" here does not mean anything just for a joke. In this showcase, Slinat still holds the theme of -X Visit Bali Year X- theme that he always brought since the end of 2012, either in street art or his painting’s works. This theme parodies the jargon of the government and big business entrepreneur "Visit Bali Year", revealing the reality of Bali behind the "Bali" offered by tourism or Bali that is covered up by the interests of tourism. Bali Behind Exotic (Degung Santikarma). In this showcase, Slinat presents works focusing on technique and material exploration. Slinat is interested in using environmentally friendly materials or reusable materials. Technically, he adapted the wheat paste process he used when making street art work, other than mural. Wheat paste technique makes it easy to make street art piece in a shorter time. This technique is then adapted for artworks with secondhand materials such as old traditional fabrics, wood, and cardboard as the painting’s medium. He also explored his drawing skill with a ballpoint on an old and yellowed children's coloring book. In other works, he used a spray paint that was cracked on a used drum cover. Last but not least, he is now digging back the china ink (natural ink) on the canvas, a technique that Slinat ever tried in 2009 and want to explore the possibilities even more. SLINAT 1982 • Bali Slinat was born in 1982 in Bali, Indonesia where he currently lives and works. He is graduated from the Indonesian Institute of Arts (ISI) Denpasar, Bali and known as street artist with his alias name Slinat since 2009. Slinat's street artworks are easily recognizable with images of ancient Balinese women who wear a gas mask. He owns a merchandise shop of his upcyled project known as 'Art of Whatever Store'. Slinat has participated in various group exhibitions since 2007 including two international exhibitions in the United States in 2007 and 2010. His recent group exhibitions include: Crossing: Beyond Bali Seering (Melbourne, 2016), Urban Gigs, Buyung, Bali (2016 ); #Glued, Gardu House, Jakarta; PSOFA (Portable Sculpture of Functional Art), Sudakara Art Space, Bali (2015); Upcycle Heroes, Art Zoo, Bali. His recent solo exhibition is "Visit Bali Year" held in July 2017 at Uma Seminyak, Bali. 23-25 Maret, 2018 – Cata Odata berkolaborasi dengan The Necessary Stage (Singapura) dan WAFT-LAB (Surabaya) akan mengadakan pementasan monodrama berjudul ‘untitled cow number one’ (UCNO) atau ‘sapi tak berjudul nomor satu’ yang bertempat di GEOKS Art Space, Singapadu, Bali. Acara ini merupakan bagian dari CO.Lab, sebuah program Cata Odata yang diharap mampu meningkatkan pertemuan antara para seniman dan pelaku kreatif dengan latar belakang sosial budaya berbeda. Ratna Odata, salah satu pendiri Cata Odata, berkata,”Cata Odata Laboratory atau disebut CO.Lab, terbuka bagi mereka yang memiliki semangat untuk berkolaborasi serta berbagi pengalaman dan pengetahuan. Program ini diadakan setidaknya setahun sekali diikuti dengan workshop kreatif dan sesi percakapan bersama, kali ini dengan para tim UCNO.” Monodrama ini akan dipentaskan sebanyak 2 kali pada hari Jumat, 23 Maret dan Sabtu, 24Maret 2018 pukul 19.00 WITA. Durasi pertunjukan sekitar 30-40 menit dan setiap pertunjukan akan ditutup oleh diskusi selama 30 menit di mana para peserta bisa terlibat dalam percakapan dengan tim kreatif dan produksi dari UCNO. Produksi ini hanya bisa direalisasikan dengan bantuan dan dukungan dari para individu, profesional, dan komunitas teater lokal yang begitu suportif. Di antaranya adalah Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., MA yang melanjutkan legasi GEOKS Art Space untuk tetap berkontribusi dalam mengembangkan skena seni lokal, Anom Wijaya Darsana dari Antida Music Productions yang telah dikenal secara aktif dalam keterlibatannya di berbagi bidang industri seni pertunjukan, perusahaan sewa sistem dan produksi pencahayaan Circle Lighting di Bali, serta Uma Seminyak sebagai ruang inklusif yang selalu mewadahi acara-acara kreatif anak muda. UCNO memiliki beberapa program pendamping seperti lokakarya akting oleh Gloria Tan, DIY sound device (swakriya perangkat suara) oleh WAFT-LAB dan sebuah diskusi terbuka mengenai pentingnya praktek interkultural pada penciptaan seni pertunjukan. Semua rangkaian acara ini akan dilangsungkan di hari Minggu, 25 Maret 2018, secara bergantian dari pukul 14.00-18.00 WITA di rumah seni Cata Odata, Ubud. Monodrama adalah drama yang dimainkan atau dirancang untuk dimainkan oleh seorang aktor. Berbeda dengan monolog yang adalah cuplikan dari naskah atau ide cerita utuh, monodrama memiliki komposisi utuh layaknya drama yang memiliki babak awal, tengah dan akhir. Monodrama UCNO adalah naskah yang dibuat oleh Haresh Sharma, penulis naskah tetap The Necessary Stage sejak 1990. Sepuluh naskahnya telah dipentaskan, dialihbahasakan ke bahasa Malaysia, China, Yunani, dan Italia. Ia juga telah berpartisipasi di sejumlah festival penulis internasional. Naskah UCNO sendiri sudah pernah ditampilkan di Macau International Fringe Festival (2000), Asian Theater Festival di Busan (2002), National Theatre Festival di New Delhi (2003), dan M1 Fringe Festival di Singapore (2015). Pada pementasan ini, Gloria Tan hadir sebagai aktor yang membawakan sebuah cerita tentang perjalanan masa 12 hari berkabung dari seekor janda sapi. Pertunjukan ini akan dibagi menjadi 12 bagian dan dilengkapi dengan teks terjemahan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang tersedia pada layar untuk hadirin. Gloria Tan berbagi pada kami mengenai bagaimana ia melihat dirinya berproses sejauh ini, “Teksnya bisa dikatakan cair dan terbuka terhadap berbagai interpretasi dan untuk penampilan khusus ini, saya mendasarkan struktur emosional peran sesuai dengan kehilangan dan kesedihan personal yang pernah saya jalani, dan mungkin masih saya alami. Bentuk interpretasi ini ada untuk saya, akan selalu tumbuh dan selalu berubah, tergantung aktor yang memerankannya.” Alvin Tan, pendiri The Necessary Stage, ketika ditanya mengenai mengapa The Necessary Stage memilih naskah ini untuk dibawa ke Bali berujar, “untitled cow number one adalah salah satu naskah Haresh yang paling terbuka melibatkan seniman lain sebagai kolaborator. Temanya pun dapat dimaknai secara universal, tentang kondisi manusia yang menginvestasikan semua emosi yang dimilikinya dalam satu sumber kebahagiaan, dan kehilangan identitas di saat hubungan tersebut berakhir. UCNO membawa seluruh tim melalui perjalanan karib yang disarikan ke dalam pementasan 1 jam ini. Itu adalah sesuatu yang ingin kami bagikan kepada teman-teman di Bali. Untuk bertukar pikiran dan melihat bagaimana, mengapa, dan di mana kita terhubung. Memang telah menjadi sebuah hadiah tersendiri mengenal Ratna, Ajeng, Cata Odata, Azy (Manajer Produser Panggung), Mish (Manajer Tur), dan WAFT-LAB. Saya sangat menantikan berbagi dengan para hadirin di Bali.” WAFT-LAB, sebuah kolektif yang sudah lebih dari 10 tahun aktif dalam pengembangan seni interdisipliner di Surabaya melibatkan 6 personilnya untuk membuat bentuk audio danvisual pementasan ini. Salah satu pendirinya, Helmi Hardian mengatakan, “Ini adalah kali pertama WAFT-LAB membuat karya untuk pementasan teater. Kami selalu mengerjakan wilayah audio, visual, atau pencahayaan di project-project sebelumnya. Yang berbeda kali ini adalah kami harus mendukung emosi di setiap babak yang kemunculannya selalu berbeda, runut, dan kadang malah tiba-tiba berubah. Kami bereksperimen dengan memahami naskah, berdiskusi, mencari referensi, dan jamming bareng. Sering kami mengutak-atik alat musik dan membuat simulator pencahayaan untuk coba-coba.” Untuk pementasan ini, WAFT-LAB membuat pencahayaan dalam bentuk polygonal sederhana yang dapat berubah bentuk saat animasi dijalankan di setiap adegannya. Eksplorasi suara yang mereka lakukan pun akan dijadikan sebagai latar. Ini semua agar harmoni antara aktor, suara, dan cahaya dapat berjalan secara beriringan. Pendaftaran tempat duduk dengan donasi telah dibuka. Informasi selanjutnya mengenai reservasi tempat dan pendaftaran workshop, hubungi: email: [email protected] | Instagram: @cataodata | Facebook Page: Cata Odata
Denpasar – Minikino, organisasi film pendek berbasis di Denpasar-Bali yang merancang dan menyelenggarakan berbagai bentuk festival film pendek yang menjangkau jaringan kerja lokal, nasional dan internasional, mendapatkan kesempatan istimewa untuk berpartisipasi dalam paviliun Archipelageek di South by South West (SXSW) 2018. Festival SXSW adalah ajang seni kreatif dan teknologi terbesar dunia diselenggarakan di Austin, Texas, Amerika Serikat. Archipelageek merupakan paviliun Indonesia dan tahun ini adalah kali ke dua untuk berpartisipasi pada South by Southwest. Paviliun ini akan menampilkan berbagai produk serta talenta terbaik dari Indonesia. Melanjutkan kesuksesan “Archipelageek from Indonesia to SXSW 2017”, BEKRAF tahun ini membawa serta enam start-up yang terpilih dari total 75 start-up yang mendaftar. Sementara itu di bidang musik, tahun ini terdapat 1 musisi dan 2 grup musik yang terpilih melalui kurasi langsung dari komite SXSW 2018. Josua PM Simanjuntak selaku Deputi Pemasaran Bekraf mendorong agar para wakil Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini secara maksimal. “Kami melihat antusiasme yang luar biasa dari para peserta sepanjang proses seleksi dilakukan. Terlihat bahwa SXSW 2018 menjadi momen yang ditunggu sebab dapat menjadi acuan bagi para profesional untuk menunjukkan produk yang dimilki sembari memperluas jaringan.” Ada pun enam start-up, musisi, serta grup musik asal Indonesia lainnya yang akan mendukung kesuksesan Archipelageek di SXSW2018, bersama-sama dengan Minikino ialah Kata.ai, Seruniaudio, SAFT7ROBOTICS, Squline, Vestifarm, Mycotech, Rich Brian, Efek Rumah Kaca, dan Kimokal. Andi Sadha selaku Head of Committee Archipelageek berbagi mengenai suka citanya terhadap kualitas dari para peserta 2018. “Dari proses seleksi, kami melihat potensi dan kualitas produk yang beragam. Di tahun ini, Indonesia perlu berbangga hati karena selain Efek Rumah Kaca, dua musisi lainnya yaitu Rich Brian dan Kimokal dipilih langsung oleh pihak SXSW 2018. Dari bidang perfilman, Minikino yang dikenal sebagai organisasi penyelenggara festival film pendek, juga akan mewakili Indonesia di ajang tersebut,” ungkapnya. Edo Wulia selaku direktur Minikino mengungkapkan rasa syukur atas terpilihnya Minikino sebagai salah satu kontingen Indonesia di festival SXSW 2018. “Bangga rasanya Minikino bisa menjadi bagian dari Paviliun Archipelageek tahun ini. Ini semua hanya bisa terjadi karena kepercayaan dan dukungan positif banyak pihak. Ajang ini akan menjadi kesempatan bagi kita semua untuk menarik perhatian dunia ke Indonesia, khususnya Bali karena festival film kami berbasis di Bali,” ujarnya. Lebih lanjut, Edo menjelaskan tentang Digital Totem Minikino Short Film Library yang akan diaktifkan untuk pengunjung selama festival SXSW 2018 berlangsung. Digital totem tersebut berisi list film-film pendek pilihan, dilengkapi dengan data-data mengenai film-film pendek tersebut, mulai dari filmmaker yang membuat sampai latar belakang produksi serta prestasi yang sudah diraih karya tersebut. “Digital totem ini hanya beroperasi secara offline di lokasi acara. Jadi, pengunjung dapat kesempatan menonton film-film pendek eksklusif, bahkan yang masih dalam distribusi sangat terbatas. Lebih jauh, pengunjung bahkan bisa memberikan rating serta komentar mereka lewat digital totem ini,” imbuhnya.
Menjadi perwakilan tim Minikino untuk berangkat ke Austin adalah Fransiska Prihadi selaku direktur program, bersama I Made Suarbawa, selaku direktur eksekutif untuk Minikino Film Week. Persiapan intensif telah dilakukan sejak beberapa minggu yang lalu dan masih terus dimaksimalkan untuk memberikan yang terbaik bagi Indonesia. Proses perancangan aplikasi pada totem digital, Minikino mendapat bantuan teknis dari I Wayan Gede Suweca Gunadi. Sedangkan untuk tata pakaian, Minikino akan mengenakan beberapa disain fashion dari Siji Clothing selama berada di paviliun. Kabar keberangkatan perwakilan Indonesia ke festival SXSW 2018 juga disambut gembira oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Houston, Amerika Serikat. Sebagai bentuk dukungan KJRI Houston terhadap program Archipelageek, rencananya para wakil Indonesia akan dipertemukan dengan Chamber of Commerce di Houston untuk membangun jaringan kerja yang lebih luas. “Kami berharap kepada masyarakat agar turut mendukung dan memberikan semangat kepada para wakil Indonesia agar tampil maksimal dalam acara akbar ini. Begitupun sebaliknya, semoga kiprah para wakil dari Indonesia ini dapat menjadi semangat baru untuk kemajuan ekonomi kreatif di tanah air,” pungkas Ricky Pesik selaku Wakil Kepala Bekraf. (dilansir dari siaran pers yang dikeluarkan Minikino) “PERJAMUAN TERAKHIR” pameran foto oleh Syafiudin Vifick Uma Seminyak 3 – 11 Maret 2018 Pembukaan, 3 Maret 2018, 18.30 wita. Uma Seminyak akan membuka pameran foto karya Syafiudin Vifick pada Sabtu 3 Maret 2018 pada jam 18.30 wita. Creative Space Uma Seminyak akan diisi instalasi foto dengan tema yang berbeda-beda. Karya-karya foto dalam setiap instalasi yang ditampilkan merupakan kumpulan dokumentasi perjalanan Vifick mengelilingi dan mengamati Bali selama 10 tahun terakhir. Pada malam pembukaan, Teater Kalangan akan hadir dalam format immersive performance. Pameran ini dibuka untuk umum 3 – 11 Maret 2018, di creative space Uma Seminyak yang buka setiap hari mulai pukul 10 pagi hingga 9 malam. Dalam sepuluh tahun terakhir, saya sering berkeliling ke berbagai tempat di Bali. Mengunjungi tempat-tempat yang saya baca di internet, atau sekedar jalan tanpa tujuan dan referensi. Dari tempat yang hits dan populer, hingga tempat terpelosok yang sinyal internet belum menjangkaunya. Mitos bahwa Bali itu indah adalah nyata. Alamnya sungguh kaya akan panorama; sawah terasering yang hijau, danau-danau yang indah, gunung dan bukit yang menakjubkan, desa-desa yang asri, dan pantai-pantai yang selalu dirindukan oleh wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Ditambah adat istiadat yang melahirkan produk seni dan kebudayaan yang amat kaya, tari-tarian, musik tradisional, hingga upacara-upacara adat yang sakral namun sangat menarik untuk dipelajari dan dinikmati. Bali memang surga bagi pariwisata dunia, begitu citranya. Bagaimana menurutmu? Mari datang ke “Perjamuan Terakhir”, kita bicara dan membaca Bali hari ini dengan berbagai sudut pandang...” (Syafiudin Vifick) Syafiudin Vifick adalah seorang visual storyteller. Dengan menggunakan medium fotografi, dia mengerjakan proyek‐proyek personalnya berupa foto essay dan travel story. Dia tertarik pada isu‐isu kemanusiaan (humanity), social – culture, lingkungan, antropologi dan isu‐isu kontemporer. Sehari‐hari Vifick mengerjakan fotografi komersiil dan juga menjadi kontributor di beberapa media. Karyanya dimuat di beberapa media, seperti Sriwijaya Air Magz, National Geographic Traveller Indonesia, senidiharilibur.com dan berbagai media lainnya. Di Bali, dia membentuk komunitas fotografi 'Semut ireng' yang konsen pada fotografi lubang jarum. Kemudian sekarang mendirikan program fotografi #SayaBercerita, yakni sebuah inisatif dan movement untuk bercerita melalui medium fotografi. Program tersebut berupa kelas fotografi, pameran fotografi dan pembuatan buku fotografi. Selain itu, Vifick aktif mengikuti pameran fotografi dan seni rupa, serta mengajar fotografi di berbagai daerah di Indonesia. Kata-kata Perjamuan Terakhir, yang juga dikenal The Last Supper, selalu dikaitkan dengan memori lukisan yang terkenal yang didasari ajaran Alkitab itu. Tetapi fotografer dan visual storyteller, Syafiudin Vifick, tidaklah merespon lukisan tersebut. Ia mengambil kata-kata tersebut secara harafiah sebagai refleksi terhadap apa yang terjadi di Bali setelah reaksi Gunung Agung memberikan dampak negatif terhadap Bali dan dunia pariwisatanya yang terkenal itu. Akankah ini menjadi Perjamuan Terakhir untuk kita semua?
Perjamuan Terakhir ini mengundang para pengunjung untuk membaca Bali dari foto-foto yang disuguhkan sebagai Menu Hari Ini, merasakan Aksi, terror iklan Land For Sale, dan produk-produk industri pariwisata, semua terdokumentasi selama 10 tahun terakhir Vifick menjelajahi Bali. Turis memasal yang ada di Bali telah mengambil banyak kesempatan untuk melakukan apapun yang dapat mendatangkan uang, budayadipergunakan sebagai pencitraan, bisnis berkembang mengambil alih lahan seperti tebing, pantai dan pulau – sebuah dunia kapitalistik di dalam dunia pariwisata tersebut. Sedangkan di luar dunia pariwisata tersebut, orang-orang Bali dan orang-orang yang peduli dengan kondisi Bali yang memburuk mengambil badan jalan dan ruang-ruang terbuka untuk menyuarakan dirinya sesering mungkin – mungkin didengar, mungkin tidak. |
Authorsenidibali is an independent platform that promotes arts, artists, exhibition, art events and art spaces in Bali. Archives
November 2019
Categories |