art, artist, featured, profile
Tidak banyak seniman perempuan di Bali yang namanya mencuat dalam 10 tahun terakhir. Di tahun 90an akhir hingga 2000-an awal, Bali mempunyai nama sekuat I GAK Murniasih, yang karyanya provokatif dan mendunia. Di tahun-tahun tersebut juga ada Seniwati Galeri di Ubud yang mengakomodasi seniman-seniman perempuan untuk berkarya dan memamerkan karya-karyanya, namun sayangnya wadah ini pun tidak mampu bertahan. Barangkali dua tahun belakangan di Bali ada satu nama yang mencuat di wilayah senirupa kontemporer. Citra Sasmita, lahir di Tabanan tahun 1990. Citra mulai mengawali kemunculannya di pameran senirupa sejak tahun 2013, dan terus aktif hingga sekarang. Tercatat sudah dua kali mengadakan pameran tunggal dan beberapa pameran kelompok termasuk diantaranya Merayakan Murni (2016) proyek seni yang digagas oleh Ketemu Project Space di Bali; Personal Codes (2016) di Sudakara Art Space; Crossing: Beyond Bali Seering (2016) digagas oleh Project11 berkolaborasi dengan Multicultural Arts Victoria di Fortyfive Downstairs – Melbourne, Australia, Lady Fast 2 (2017) oleh Kolektif Betina di Bandung. Citra juga pernah menjadi semifinalis Bandung Contemporary Art Award #4 di tahun 2015, dan terlibat dalam sebuah proyek seni Mabesikan: Art for Social Change (2015-2016) yang diadakan oleh Search For Common Ground. Bagaimana Citra mengawali keseriusannya di dunia seni? Bagaimana proses, konsep dan gagasan utama dalam kekaryaannya? Citra mengawali keseriusan dalam bidang seni rupa ketika bekerja sebagai illustrator cerpen di Bali Post lima tahun yang lalu. Sempat menempuh pendidikan Fisika, namun dorongan untuk turut berpartisipasi dalam kebudayaan lebih besar dari hanya sekedar menjadi seorang fisikawan. Kondisi sosial, kultur dan mengenai identitas masyarakat sosial, terutama mengenai kasus-kasus perempuan menjadi konsentrasi Citra dalam bidang seni rupa. Sesungguhnya selain melukis, Citra juga mencoba eksplorasi medium lain berupa instalasi plat, raw object, keramik dan bisa banyak lagi. Karena baginya kebendaan bukanlah akhir dari proses kesenian. Kesenian merupakan sebuah ideologi yang bisa diungkapkan dalam medium apapun untuk merombak kebudayaan, tanpa dikotomi apapun. Namun bahasa lukis tetap Citra lakoni karena ia yakin, lukisan adalah bahasa yang paling murni dan jujur untuk mengungkapkan ide dan gagasan. Karya-karya lukis Citra banyak mengangkat tema-tema perempuan dimana tubuh perempuan dalam paradigma masyarakat harus sesuai dengan norma dan parameter sosial yang telah berlaku. Khususnya dalam kultur patriarkis dimana peran perempuan telah ditentukan dengan mengatasnamakan kodrat, tradisi dan budaya. Masyarakat dalam kultur patriarkis telah mengukuhkan sistem tersebut sehingga perempuan diasosiasikan dengan persoalan domestik (masak, macak, manak). Persoalan domestik yang dimaksud bukan semata-mata beban kerja dan ruang terbatas perempuan hanya dalam rumah tangga, namun terlebih pada akses pengetahuan, intelektualitas perempuan sebagai mahluk yang otonom. Kerangka domestifikasi atau kontrol masyarakat bagi perempuan untuk tidak mendapatkan akses publik dan menambah pengalaman hidupnya, yang telah dikonstruksi pada perempuan secara tidak langsung membentuk identitasnya — dimana konsep identitas disini melingkupi bahasa, habitus, seksualitas dan relasi kuasa. Tentang “Perempuan yang Meminang Batu”? Pada Februari 2017 silam, Citra terlibat dalam residensi di program Bangsal Menggawe di Lombok, bersama seniman lain yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, diantaranya Andreas Siagian dan Nia Agustina dari Yogyakarta; Irawita, Serrum dan The Popo dari Jakarta; serta Fatih Kudus Jaelani, Hamdani, H. Muzhar, Daniel Emet, dan Zakaria dari Lombok. Dari proses residensi tersebut, Citra semakin memperdalam gagasan dan manifest karyanya di wilayah keperempuanan. “Perempuan Yang Meminang Batu“ salah satu karya terbarunya yang dipamerkan di Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta pada sebuah perhelatan pameran YAA #2 Bergerak. Karya ini merupakan sebuah lukisan yang Citra dedikasikan untuk Rabitah, seorang pekerja migran dari Lombok Utara yang menjadi korban kekerasan oleh majikannya di Qatar, Arab Saudi. Satu ginjalnya diambil oleh prosedur medis yang diajukan oleh sang majikan. Dan kini ia dipulangkan tanpa gaji dan dalam keadaan sakit. Begitu miris kasus yang dialami Rabitah dan sekelompok mantan TKW di Lombok Utara yang Citra temui dengan kisah yang sama tragisnya, namun minat perempuan menjadi pekerja migran masih saja tidak surut. Saat ini, Citra sedang mempersiapkan karya terbarunya untuk pameran tunggalnya di Laramona Ubud. Ingin tahu lebih banyak tentang Citra Sasmita, ikuti updatenya di: https://mpucukilalang.wordpress.com instagram: @citrasasmita_work get in touch IG @senidibali
0 Comments
Leave a Reply. |
FEATURED
artist & artwork Archives
March 2018
Categories |