Jika kita mengikuti kekaryaan I Wayan Suja sejak awal tahun 2000-an, maka dari lukisan-lukisannya dapat ditarik satu benang merah tematik yang cukup kuat merajut pemikirannya, yaitu persoalan identitas dalam konteks budaya Bali. Sebagai seniman yang lahir dan tumbuh dalam lingkup kebudayaan tersebut, wajar jika hingga kini Suja terus mempertanyakan konstruksi identitas pada masyarakat di sekitarnya, yang sekaligus melekat pada dirinya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul berkaitan dengan berbagai dinamika sosial yang terjadi di Bali saat ini. Benarkah identitas merupakan sesuatu yang terberi, melekat begitu saja, dan diwariskan secara turun-temurun berdasarkan ikatan darah, etnisitas atau kebudayaan tertentu?
Berkaca pada situasi terkini yang menunjukkan semakin menguatnya gerakan politik identitas di berbagai penjuru dunia, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Suja terhadap identitas masyarakatnya menjadi sangat relevan. Sebab Bali, juga bagian dari dinamika politik dunia. Situasi sosial yang terjadi di Bali, secara langsung terhubung dengan kondisi yang terjadi di luar sana. Sebagai sebuah gerakan politik, tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap politik identitas mengacu pada persamaan latar belakang yang mengikat mereka ke dalam satu ikatan sosial. Politik identitas sendiri, selain menjadi pemersatu bagi suatu kelompok masyarakat, ternyata juga menciptakan segregasi sosial yang semakin kentara batasnya. Bahkan, kerap menjadi alasan bagi tindakan kekerasan oleh suatu kelompok terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dalam berbagai konteks sosial, identitas tidak pernah bisa dimaknai secara tunggal hanya dengan berdasarkan pada satu aspek yang melatarinya, melainkan secara mutlak selalu bersifat majemuk dan multilayer. Kerangka identitas tersebut tersusun dari berbagai lapisan yang nampak di permukaan maupun yang tak kasat mata. Meskipun dalam beberaka kasus, klasifikasi identitas justru dipukul rata hanya berdasarkan pada kesadaran atas kesamaan etnis, kebudayaan, atau agama. Tanpa melihat bahwa ada lapisan lain yang membentuk identitas tersebut, yang mengacu pada peristiwa ataupun pengalaman-pengalaman individu yang menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut. Pada karya-karya awalnya, Suja banyak mengajukan pertanyaan tentang benturan antara identitas ke’Bali’an yang secara umum dipahami melalui kebudayaan tradisionalnya, dengan masuknya pengaruh modernisme yang telah merasuk ke berbagai sektor kehidupan masyarakat Bali. Bagi kalangan konservatif, gambaran tersebut akan terlihat begitu kontras karena menghadirkan tradisionalisme secara oposisi biner dengan modernisme. Sementara bagi Suja, identitas dipahami sebagai sesuatu yang akan selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman dan konteks sosial yang terjadi. Karena itulah, pada karya-karyanya yang terdahulu, Suja dengan berani melepaskan figur-figur lukisannya dari berbagai atribut tradisi yang melekat pada masyarakat Bali, lalu menggantinya dengan berbagai produk yang melambangkan spirit modernitas. Pandangan konservatif yang mengklasifikasi identitas ke’Bali’an secara identik dengan kebudayaan tradisional Bali memang secara umum diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal, jika kita kaji lebih mendalam, kondisi ini tidak tercipta begitu saja, melainkan hasil konstruksi politik di masa lalu. Jejaknya tentu bisa dirunut hingga masa kolonial, pasca berakhirnya perang Puputan Klungkung dan dimulainya pendudukan Hindia Belanda atas Bali, sejak itulah proses pembentukan identitas masyarakat Bali “baru” menjadi proyek yang dijalankan melalui kebijakan politik etis Baliseering. Upaya merekonstruksi identitas masyarakat Bali pada masa itu erat kaitannya dengan kepentingan politik pemerintah Hindia Belanda, selain untuk mendepolitisasi gerakan masyarakat, juga menjadi upaya untuk memperbaiki citra Belanda di mata dunia. Sejak itulah, masyarakat Bali dipaksa untuk menerima identitas baru mereka sebagai Bali yang harmonis, indah, dan eksotis. Pergolakan identitas masyarakat Bali tidak berhenti di sana, kuasa politik terpusat pada masa Orde Baru justru menekan dinamika kultural masyarakat Bali selama lebih dari tiga dekade. Selama itu pula, gejolak identitas masyarakat Bali seperti bara dalam sekam, sebagai akibat dari adanya represi sekaligus eksploitasi terhadap alam dan kebudayaan Bali demi kepentingan pembangunan industri pariwisata. Berbagai elemen kebudayaan tradisional Bali pun mengalami desakralisasi dan komodifikasi, termasuk pada sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya. Pasca runtuhnya rezim orde baru, telah terjadi pergeseran tata nilai dalam masyarakat Bali yang cukup signifikan. Dinamika kultural yang sebelumnya dikekang oleh kuasa politik yang terpusat, menemukan momentum kebangkitannya, yang kemudian berimbas secara langsung pada konstelasi sosial dalam melakukan identifikasi terhadap kebudayaan Bali secara menyeluruh. Kelompok masyarakat konservatif secara dominan menggaungkan kembali kebudayaan tradisional Bali sebagai prinsip utama identitas mereka. Selain momen kebangkitan politik kebudayaan tersebut, tragedi bom Bali juga menimbulkan gerakan politik identitas bagi masyarakat Bali yang menempatkan mereka pada kesadaran etnosenstris yang kuat. Sebagai seorang seniman, secara pribadi Suja mengalami gejolak seputar identitas ke’Bali’an dalam karya seni yang diciptakan olehnya. Benarkah menjadi seniman Bali harus melukiskan elemen-elemen tradisional dari kebudayaan Bali? Mungkinkah menangkap realitas sosial yang terjadi tanpa harus menggunakan atribut lokal? Pertanyaan semacam itu mungkin terlalu deras Ia rasakan dalam dirinya. Pada sejumlah karyanya, Suja memang menghadirkan potret dari figur-figur yang mudah untuk diidentifikasi sebagai “Bali” karena mengenakan atribut yang nampak jelas (seperti figur perempuan dengan busana dan aksesoris tradisional Bali). Namun figur-figur tersebut disamarkan dengan lapisan transparan dari plastik kemasan berbagai produk industri yang lazim kita konsumsi sehari-hari. Maknanya, bisa jadi identitas telah menjadi komoditas yang kita terima dan konsumsi setiap hari. Namun pada seri karya terbarunya yang dihadirkan pada pameran Re-Imaging Identity ini, Suja tengah melakukan transformasi pada gagasan dan kekaryaannya secara hampir menyeluruh. Medium cat minyak yang dulu dominan pada karyanya, kini berganti dengan cat akrilik. Perubahan medium ini sekaligus menuntut perubahan teknis pengerjaan karyanya, sekaligus pada efek yang dihasilkan dari karakter medium yang berbeda. Namun, secara sadar hal tersebut dikontekstualisasikan oleh Suja ke dalam konsep kekaryaannya kini. Jika pada lukisannya terdahulu, figur-figur ditampilkan dengan sapuan kuas yang halus, kini lukisannya justru lebih banyak menampilkan goresan-goresan palet yang tebal dan cenderung kasar. Visual tersebut dapat kita maknai sebagai cara pandang Suja saat ini terhadap identitas ke’Bali’an yang terkonstruksi pada masyarakat di sekitarnya, sekaligus melekat pada dirinya. Penggambaran potret para figur dalam lukisan-lukisan Suja saat ini yang secara kontras dibenturkan dengan latar belakang yang ekspresif, kasar dan cenderung abstrak merupakan sebentuk antitesis terhadap citra umum tentang identitas masyarakat Bali yang selama ini digambarkan secara harmonis, serba teratur, dan eksotis. Lukisan-lukisan tersebut dapat dimaknai bahwa di balik keindahan citra tentang Bali yang selama ini kita terima begitu saja, ternyata menyimpan banyak lapisan yang kontradiktif di baliknya. Identitas Bali saat ini dibentuk melalui rangkaian peristiwa, gejolak sosial, termasuk luka sejarah. Namun oleh kepentingan politik dan ekonomi, bekas luka itu dipupur tebal hingga nampak mulus dan mempesona. Melalui lukisan-lukisan Suja, kita diajak kembali untuk meresapi bahwa apa yang nampak indah di permukaannya, tidak selalu sama di baliknya. Termasuk dalam memandang identitas (manusia) Bali. *)Dwi S. Wibowo, penulis seni dan sastra
0 Comments
Skena seni ruang publik berkembang secara khas di Bali. Kehadiran komunitas-komunitas, seniman-seniman independen pun entitas bisnis ikut meramaikan skena ini. Tembok-tembok di kota-kota administratif dan pariwisata (untuk tidak menyebut Bali secara keseluruhan) di Bali dihiasi oleh karya-karya mereka, mulai dari doodle, graffiti, hingga karya-karya yang idealis. Ruang-ruang komersil (kafe, villa, dll) juga ikut membuka tembok mereka untuk digambari.
Perkembangan ini membuka kesempatan bagi skena seni ruang publik untuk diterima dan diapresiasi secara lebih luas oleh publik (untuk tidak terburu-buru menyebutnya sebagai masyarakat) yang tinggal atau sekadar mampir di Bali. Tetapi, terbatasnya karya-karya tersebut pada tembok-tembok yang strategis—dekat dengan jalan utama atau tempat-tempat dengan kuantitas turis yang masif—membuat seni ini justru sedikit berjarak dengan masyarakat lokal. Untuk menjembatani jarak ini, pada 2018, lahirlah Rurung Gallery. Rurung adalah kata dalam bahasa Bali yang berarti jalan. Atas inisiatif Wayan Subudi, Dewa Juana, Gusde Bima (serta dukungan alumni muralis Mural Pasca Panen 1), Rurung Gallery dimaksudkan sebagai gerakan untuk membawa seniman ruang publik dan karya mereka ke jalan dan mengerucut ke gang-gang kecil yang luput dari sentuhan para seniman jalanan. Pemilihan ruang ini membuka kesempatan yang lebih intim bagi para seniman yang terlibat untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat. Jalan ini juga diambil untuk mengenalkan kembali seni mural kepada anak-anak yang tinggal di sekitar gang tersebut. Pada setiap serinya, Rurung mengajak lebih banyak teman-teman seniman untuk terlibat (sesuai dengan besar tembok yang tersedia). Dengan konsep street jamming, siapa saja boleh ikut berkolaborasi dengan seniman-seniman undangan dan tidak lupa para seniman juga mengajak beberapa anak-anak disekitaran gang untuk ikut menggambar bersama. Bekerja sama dengan CushCush Gallery, Rurung Gallery sudah menggenapi tiga aktivitas di tiga gang yang berbeda. Berawal di 15-16 September 2018, dengan mengajak setidaknya 10 seniman, Rurung Gallery melakukan street jamming pertama mereka di Pasar Kumbasari, Jalan Sulawesi. Street jamming yang kedua diadakan seminggu sesudahnya di gang Rajawali, Jl. Teuku Umar. Rurung Gallery #3 memboyong para seniman dan karya mereka ke gang Berlian, Sanglah. Proses negosiasi ruang dengan para pemilik tembok dan lingkungan sekitar menjadi salah satu hal yang menarik dalam setiap aktivitas Rurung. Masing-masing seniman, dengan gaya berkaryanya masing-masing, ditantang untuk mengikuti dos and don’ts yang secara lisan disampaikan kepada mereka. Manajemen ruang berupa pembagian tembok bagi para seniman, juga pemberian ruang untuk anak-anak atau siapa saja yang ingin terlibat menjadi hal lain yang juga menarik. Kolektivitas kerja antar-seniman dalam skena seni ruang publik bukan hal yang baru. Rurung Gallery, dengan proses negosiasi dan manajemen ruang yang mereka lakukan, membuat masyarakat setempat turut hadir dalam kolektivitas tersebut. Orang-orang yang kebetulan melintas mungkin saja mengira mereka ngayah untuk memperindah gang-gang tersebut. Hal itu justru menjadikan aktivitas Rurung punya aroma yang khas. Rurung #1, #2, #3 sudah berjalan. Kopi-kopi dari seduhan bapak-ibu warga setempat sudah habis bareng sama candaan-candaan receh. Ya, mungkin aja ada seniman yang dapat kenalan baru dan tukar nomor hape atau foto selfie bareng. Foto mural-mural baru juga sudah tersebar di medsos (@rurunggallery), tanda Rurung Gallery siap dengan seri-seri berikutnya. Nah, kalau kamu? Sudah siap buat kenalan, belum? (kalau gak mau lanjut sayang-sayangan ya gakpapa, tapi tolong kasih kabar!) Artist yang terlibat (akun Instagram) @theunclejoy @dwidyapratista @vonzealous @pansaka_ @swoofone @yessiow @zolalongor @easytigerr_ @nedsonesuck @ekamardiys @masgaga @sanggarasi @ketutsedana @perwirakesuma @salvehenik @saisakmr @beluluk @blelozz @varkoiivark @plekeplek @awshitttttt @slinat @bombdalove @andreyogaa @ambumia @ardikidney @kuncirsv @ikynata @mutaseight @donikdangin @adiwinaata @minioneyes @varkoiivark Text oleh Sidhi Vhisatya Photo oleh Gusde Bima, Adi Suarcandra, Gus Yoga. Pada hari Minggu 30 September 2018 yang akan datang, Hari Prasetyo atau yang akrab disapa Hari Prast akan memamerkan sekitar 15an karyanya di creative space Uma Seminyak.
Hari Prast adalah ilustrator dan komikus kelahiran Tulunagung 1973 yang tinggal dan bekerja sebagai insan kreatif di sebuah agensi periklanan di Jakarta. Hari Prast dikenal dengan gaya ilustrasi ligne clare yang terinspirasi oleh karya-karya Hergé—kreator The Adventures of Tintin. Kegemaran mengamati serta menangkap denyut nadi masyarakat Indonesia, membuat Hari Prast cukup teliti dalam merangkai ide komunikasi visual yang efektif bagi kebutuhan brand. “Kecintaan saya pada budaya lokal dan pop culture menjadi inspirasi yang kental pada setiap karya-karya saya. Ide kreatif adalah hal yang sifatnya tak terbatas”, ungkapnya. Keliaran Hari Prast memiliki alasan dan banyak ia buktikan dengan berhasil meroketkan beberapa brand. Dan yang saat ini sedang ia kerjakan adalah project #karyadalahdoa yang ia garap bersama timnya. Sebuah kampanye yang melibatkan khalayak ramai khususnya generasi muda untuk bersikap dan berpikir positif, menyebarkan berita baik dan bahagia. Dua ilustrasinya yang viral pada saat momen Asian Games berlangsung adalah ketika Jokowi-Prabowo berpelukan dan Jokowi naik moge. Dua karya ini banyak mendapat tanggapan dari netizen. Terlepas dari kegiatan sehari-harinya, Hari Prast terpanggil untuk memamerkan karya-karyanya dan memberi dampak positif bagi peminatnya. Sesuai dengan judulnya, Hari Prast menciptakan seluruh karya pada pameran ini dalam semangat berkarya dengan merdeka dan bahagia. Kebebasan berkarya ini diekspresikan dalam upayanya bersenang-senang mengawinkan unsur lokal dan budaya pop yang kemudian diterjemahkan dengan visual lugas dan pesan yang mudah diterima oleh semua kalangan. Bekerjasama dengan Heartlab Bali, sebagian besar karya dalam pameran ini dipamerkan dalam bentuk cetak cukil untuk menambah sentuhan unik dan spontan, begitu pula dengan pemilihan Uma Seminyak sebagai lokasi pameran tunggalnya yang pertama karena Bali merepresentasikan kebebasan berkreasi dimana berkarya dan bersenang-senang adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Pameran Hari Bahagia akan berlangsung dari tanggal 30 September hingga 25 Oktober 2018 di Uma Seminyak. Dan jangan lewatkan kesempatan untuk bertemu dan berbincang langsung dengan Hari Prast di hari pembukaan yang diawali dengan sesi artist talk bersama Hari Prast dan Hanh dari Heart Lab Bali yang menjadi kurator dalam pameran ini. Uma Seminyak Jl. Kayu Cendana No. 1 Oberoi, Seminyak @umaseminyak @harimerdeka Bertepatan dengan Pertemuan Tahunan IMF - World Bank 2018, pameran seni Art Bali berperan serta dalam mempromosikan dunia seni kontemporer Indonesia kepada khalayak internasional.
Mulai dari tanggal 9 Oktober sampai dengan 9 November 2018, Art Bali, sebuah pameran seni berskala internasional, akan diadakan untuk pertama kalinya di Bali Collection, Kawasan Pariwisata Nusa Dua, Bali, Indonesia. 39 seniman Indonesia dan mancanegara akan menampilkan karya–karya seni mereka dalam pameran tersebut. Dengan mengusung tema "Beyond the Myths", pameran Art Bali akan memberikan gambaran perkembangan mutakhir seni rupa kontemporer di Indonesia. Karya-karya ini akan mempresentasikan bagaimana perubahan di dalam praktek seni rupa terkait dengan perubahan-perubahan sosial politik dan ekonomi, pada masyarakat di Indonesia maupun global. Tema ini menawarkan makna baru atas cara pandang dunia yang baru, yang melampaui tanda-tanda, simbol yang dimitoskan, baik yang dikonstruksikan maupun secara arbitrer (sewenang-wenang). Bersama dengan Rifky Effendy dan Ignatia Nilu yang tergabung dalam tim kurator, pameran Art Bali akan menampilkan karya-karya seni visual dalam beragam presentasi medium dari lukisan, patung, fotografi, instalasi, dan karya-karya dengan media seni baru. Pameran seni Art Bali kali ini menjadi sangat istimewa karena diadakan bertepatan dengan pelaksanaan Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 yang akan diadakan di lokasi kawasan Nusa Dua. Harapannya, Art Bali dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi 15.000 peserta delegasi yang berasal dari hampir 200 negara. Art Bali akan menunjukkan betapa progresifnya perkembangan seni kontemporer, khususnya karya-karya seniman Indonesia. Sebagai penyelenggara Art Bali, Heri Pemad Art Management juga menaungi pameran seni Art Jog yang diselenggarakan di Yogyakarta; sebuah peristiwa seni yang telah berlangsung selama 11 tahun berturut-turut. Art Bali dirancang sebagai salah satu pameran seni berskala besar dan bertaraf internasional di Indonesia dengan tujuan untuk membangun dan mengembangkan ekosistem Seni dan Budaya di Bali pada khususnya. Art Bali melalui Yayasan Taut Seni, didukung sepenuhnya oleh BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia) yang memiliki komitmen tinggi untuk terus menyokong perkembangan seni dan mengapresiasi para seniman serta para pelaku kreatif Indonesia. Kedepannya, Art Bali akan terus diselenggarakan setiap tahun sebagai wadah bagi para seniman dan penikmat seni untuk bertemu dan berinteraksi secara langsung melalui karya-karya seni yang dipamerkan. Pameran Art Bali ini melibatkan 39 seniman yang diundang khusus, diantaranya Adi Panuntun, Agan Harahap, Agung Mangu Putra, Agus Suwage, Arin Dwihartanto Sunaryo, Ashley Bickerton, Chusin Setiadikara, Dipo Andy, Eddi Prabandono, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Filippo Sciascia, Galam Zulkifli , Handiwirman Saputra, Heri Dono, I Made Djirna, I Made Wianta, I Made Widya Diputra, I Nyoman Erawan, I Nyoman Nuarta, I Wayan Upadana, Joko Dwi Avianto, Jompet Kuswidananto, Made Wiguna Valasara, Mella Jaarsma, Nasirun, Nu-Abstract {Agus Saputra, Dewa Ngakan Ardana, Gede Mahendra Yasa, Kemal Ezedine, Ketut Moniarta, I Putu Sudiana Bonuz}, Pande Ketut Taman, Samsul Arifin, Syagini Ratna Wulan ft. Bandu Darmawan, Uji Handoko Eko Saputro, Yani Mariani Sastranegara, Yoka Sara dan Yudi Sulistyo. Jangan lewatkan peristiwa Art Bali 2018 yang akan dibuka pada 9 Oktober 2018 yang akan berlangsung selama sebulan ini. Melanjutkan keberhasilan dari pendahulunya yang bertemakan "Bahasa Pasar", program tahunan DenPasar Art+Design kembali pada kali ini dengan tema "JINGGA". Juga dikenal sebagai semburat oranye kekuningan, jingga merepresentasikan berbagai rona yang bercampur di kala terbit dan terbenamnya matahari, yaitu saat terang dan gelap melebur satu sama lainnya. Terinspirasi dari kekayaan warna pada momen-momen tersebut, DenPasar2018 bertujuan untuk menangkap berbagai perspektif dalam realitas Bali yang beragam dan berlapis, melalui sebuah pameran bersama tiga bulan lamanya, dengan menampilkan karya-karya seniman, desainer, arsitek, dan penampil. Selama pameran ini berlangsung, DenPasar2018 juga akan merangkul para individu maupun komunitas kreatif, baik yang berasal dari dalam maupun luar Bali, untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam acara DesignTalk serta kegiatan kreatif lainnya, sebagai bagian dari gerakan yang akan tercantum dalam DenPasar Art+Design Map 2018-2019. Melalui pameran, kegiatan, dan pemetaan entitas-entitas sosial dan kreatif yang beragam, baik peserta maupun pengunjung diundang untuk menyelidiki citra Bali yang telah terbentuk, dan menjelajahi berbagai sisi kehidupan masyarakat Bali yang tradisional, yakni yang dirayakan dan yang disisihkan, seraya mereka beradaptasi untuk memenuhi tuntutan era kontemporer. Diinisiasi oleh CushCush Gallery, pameran eponim DenPasar2018 dan aktivitasnya akan digelar di jantung ibukota Bali pada bulan Oktober mendatang. Melengkapi inisiatif-inisiatif yang telah lama berlangsung, yakni Pesta Kesenian Bali, serta Festival Denpasar yang juga dikenal sebagai Festival Gajah Mada, yang menyorot kesenian dan kebudayaan tradisional di Bali, DenPasar2018 hendak mempromosikan kota Denpasar sebagai bingkai bagi kesenian, desain, dan pergerakan kebudayaan kontemporer di Bali. Secara harafiah berarti "Pasar Utara", Denpasar merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan di provinsi tersebut, juga rumah bagi cabang Institut Seni Indonesia (ISI) di Bali. Dilimpahi dengan berbagai sumber daya strategis, serta semangat berkarya yang konstan di kota ini, maka DenPasar2018 merupakan sebuah usaha kolektif untuk menandai sebuah kota sebagai titik temu kesenian, desain, dan kebudayaan yang memiliki karakternya sendiri. DenPasar2018 merupakan sebuah acara yang terdiri dari pameran kelompok, DesignTalk, dan program-program publik yang merangkul berbagai bentuk ekspresi kreatif melalui para praktisi yang telah terhubung ke Bali dalam perjalanannya masing-masing. Selama tiga bulan, karya-karya seni dari berbagai asal akan mendiami ruang pameran CushCush Gallery yang berlimpah penerangan alami, dikurasi oleh penemu dan pemilik CushCush Gallery Suriawati Qiu dan Jindee Chua, serta kurator independen Stella Katherine. Partisipan terdiri dari tiga undangan terhormat, serta dua belas seniman terpilih dari panggilan terbuka yang menjangkau berbagai daerah di Indonesia. Tamu terhormat yang diundang ke pameran ini antara lain: Pelukis, dalang dan penampil, serta perantau berkediaman Sydney, Jumaadi (b. 1973, Sidoarjo, Jawa Timur), yang bekerja sama dengan para pelukis Kamasan; desainer dan aktivis Alit Ambara (b. 1970, Singaraja, Bali), yang karya-karyanya merupakan manifestasi kekuatan visual dalam pergerakan sosial; dan arsitek serta seniman masyhur Yoka Sara (b. 1965, Denpasar, Bali), yang merupakan pendiri serta pemimpin SPRITES ART & CREATIVE BIENNALE (2013–) yang masih berjalan hingga kini. Menanggapi panggilan terbuka untuk berpartisipasi dalam pameran kelompok, dua belas seniman telah terpilih untuk menyajikan interpretasi mereka masing-masing terhadap tema JINGGA, melalui berbagai teknik dan medium dari lukisan dan prints, hingga instalasi interaktif. Di antara keberagaman karya lainnya, Kuncir Satya Vikhu (lahir 1990, Batukaru, Bali) membuat sebuah spanduk khas kedai makanan kaki-lima atau angkringan; Renee Melchert Thorpe (lahir 1959, Carthage, Illinois, A.S) mengapresiasi industri cat lokal melalui contoh atau sample pigmen "khas" Denpasar, yang juga berfungsi sebagai kartu pos; dan Putra Wali Aco (lahir 1997, Polewali, Sulawesi Barat) menyorot kehidupan dan perasaan etnis minoritas Bugis di Bali, untuk membuka percakapan mengenai migrasi. Menarik dari subyek dan gagasan yang disampaikan dalam karya-karya seni tersebut, program-program umum akan dilaksanakan untuk mengikutsertakan para pengunjung pada akhir minggu. Dikelola oleh CushCush Gallery dan seniman nomadik Alam Taslim, serta dengan kolaborasi bersama komunitas-komunitas lokal, aktivitas mencakup diskusi ringan dengan para seniman dan kurator; pertunjukan berbasis proses mengenai momen-momen transisi Sprite oleh kelompok skenografi Yoka Sara; lokakarya melukis keramik oleh Mia Diwasastri; dan lain-lain. Sembari berada di tengah karya-karya seni yang dipamerkan, para pengunjung sangat dipersilahkan untuk berinteraksi dengan para seniman, untuk berbincang mengenai minat, pemikiran, dan praktik kesenian masing-masing, serta menyampaikan pendapat dan pemikiran, sehingga secara langsung berpartisipasi dalam pergerakan membentuk seni dan kebudayaan kontemporer di Bali. DenPasar2018: An Exhibition, A Movement A Month full of art, design, and cultural events happening throughout Denpasar City. JINGGA Pameran dibuka pada Jumat, 5 Oktober 2018; Pameran berlangsung pada 6 Oktober 2018 hingga 5 Januari 2019. CushCush Gallery Jalan Teuku Umar, Gang Rajawali No. 1A Telp: (+62361) 484558 Selengkapnya di: www.cushcushgallery.com/ccg/denpasar2018/ Adakah sejarah senirupa Indonesia yang secara bernas membahas dan mencatat kiprah perempuan pekerja seni? Barangkali kita juga bertanya-tanya mengenai terpinggirkannya perempuan pekerja seni baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas estetis dan gagasan dalam karya mereka. Kemudian adanya anggapan bahwa kemampuan rasional perempuan juga turut menjadi andil dalam kurangnya perhatian dalam pembacaan karya mereka secara objektif. Disamping itu perempuan yang memilih jalan sebagai seniman dipandang sebagai sebuah profesi yang kontraproduktif terhadap peran aktifnya di masyarakat modern.
Futuwonder mencoba menjawab tantangan ini dengan menghadirkan sebuah efek samping dari kegelisahan yang dihadapi perempuan pekerja seni dengan turut aktif berkarya dan memproduksi gagasan. Futuwonder mengundang para perempuan pekerja seni di seluruh Indonesia untuk berpartisipasi dalam panggilan terbuka proyek “Masa Subur” di Karja Art Space, Ubud, Bali! Pameran kolektif perdana ini akan berlangsung bulan Oktober 2018 di Karja Art Space. Kami tunggu karya-karyanya! Deadline Pendaftaran: 20 September 2018 Baca selengkapnya di: Open Call Futuwonder-Masa Subur Unduh formulir : Formulir Pendaftaran-Futuwonder Masa Subur Pendaftaran aplikasi hanya diterima melalui surel futuwonder@gmail.com Informasi dan pertanyaan dapat dikirimkan kepada futuwonder@gmail.com, Instagram @futuwonder atau Savitri 081805388683 (WA) PEACEFUL SEEKER #1 is an exhibition by 7 artist based in Jogjakarta and Bali, they are Agus Putu Suyadnya, Dedy Sufriadi, I.B.K Sindu Putra, I Wayan Upadana, Hojatul, and Taufik Ermas. Open from 1 of May to 15, 2018, at Tonyraka Art Gallery. Around 11 artworks are beautifully displayed at the gallery. One of the exhibition you must see. Concept of peace might be different of each person. This is affected by socio-cultural factors. Peace can be defined as a quite state, like being in a remote place with allows sleep or meditation. Yet it can refer to an agreement to end of war/absence of war. Peace can be describe of an emotional state if one or combination of above definitions. Seeking peace can also mean moving toward true self definition which will bring us to the subtle wisdom. "Six artists are joining “peaceful seeker” project and each presents hypothesis about character, identity, memory, and human-nature relationship. Based on anxiety to find and define the essence of peace, which can bring them further the contemplation of true self in metaphysical and philosophical level" write Arif Bagus Prasetya on his introductory writing. Ending her residency at Redbase Foundation Yogyakarta, Citra Sasmita hold her solo exhibition entitled Under The Skin. This exhibition is the final presentation of Citra’s residency in Redbase Foundation Yogyakarta for approximately three months. "Amidst the rapid progress of democratic practices and human rights struggles in Indonesia, the phenomenon of marginalization of women in form of discrimination, exploitation and injustice is still unavoidable. The luck of contemporary women who now have a much greater chance of equal rights with men, especially in areas such as education, employment, and social relationships, often clashing with patriarchal-cultural hegemony that has been ingrained in social life.Patriarchal culture is a classical perspective to perceive the existence of women, where the role of men is preferred and considered to have higher authority than women. Superior and inferior stereotypes attached to each gender are accepted and passed into social construction. Such social construction then gains unbalanced pattern of relations between men and women, both within the social, cultural, political, and legal systems." as written by Vina Puspita on the exhibition introduction. Citra Sasmita, a female artist born in Tabanan, Bali, who concentrates her work on women's issues. Her awareness as Balinese women whogrew up in the middle of patriarchal culture, gave rise to the criticality of the system which has been subordinating, even to ignore the role and formation of women's identity. Through a visual language enriched in symbols, Citra elaborates the issues of identity, stigma and sexuality narrated through the image of the female body. The idea of voicing sacrifice, struggle, and hope, this time packed in her third solo exhibition, entitled "Under The Skin". The opportunity to reside and live in Yogyakarta since December 2017 has introduced her to various situations and people from diverse backgrounds and perspectives. The diversity and distinctiveness of Javanese culture with Bali that she experienced, a little more influenced her works perspective. If in some series of previous works Citra tends to read women from aspect of independence and social construction, in this exhibition she is trying to raise the power of women in the society. During her exploration through the streets of Yogyakarta, Citra was captivated by the rush of traditional markets. The market that has been a part of every household’s morning, becomes an interesting location to be observed. Through observation in these traditional markets, Citra found hidden values that she could explore further. Among the narrow labels attached to women, for example, that the kitchen is the place of women; mother should go to market (not to office); and so on, the real marketplace becomes a space to meet and work with the strong women. Space where they also establish a mutual and empowering relationship, between the seller with the buyer, or between fellow sellers and buyers. On the other hand, a market that is undoubtedly dominated by women, becomes a real tool for the role of women in the wheels of the economy. On this occasion, Citra Sasmita featured ten recent works she created during his residency. Six of them are paintings, three of them are on canvas and three other are on leather. In addition to painting, Citra made three installations and one video installation. One of the installations is made of pineapple fiber braided like 360 cm long hair. This hair is aimed as analogy to Drupadi's hair, a figure of a tough and independent woman in the epic Mahabharata who dared to maintain her pride. The hair, meat and skin symbols found in Citra's works are addressed to describe the connection, attachment, sacrifice and self-defense of women. The idea can be traced, for example, to the works of the Last Embrace paintings that speak of relationships and sacrifices. Another work that is a critique of autobiotry as well as activator, is Genealogy of Silence. In the work depicted a woman wrapped in cloth, sitting upright on an old chair. Her expression was unscathed, with braided hair wrapped around his right arm. Beside her, the woman's hair was attached to a collection of faces and sheets of flesh. Through this work, Citra tells us about silence culture, which is silence, passiveness and woman's acceptance of its condition, accepted and believed to be ingrained. Solo Exhibition by Citra Sasmita UNDER THE SKIN Redbase Foundation Yogyakarta 31 March – 28 April 2018 Photos courtesy of the artist more about Redbase: http://www.redbasefoundation.org/ more about the artist: http://citrasasmita.com/about.html Setelah keberangkatan Minikino ke Austin, Texas sejak tanggal 9 Maret, akhirnya Minikino kembali menginjakkan kaki di Bali pada tanggal 19 Maret lalu. Selama empat hari di tanggal 11-14 Maret, mewakilkan Minikino adalah Program Director Fransiska Prihadi dan Executive Director Made Suarbawa, menggelar pameran di Paviliun Archipelageek dalam Trade Show South by Southwest (SXSW) 2018.
Fransiska Prihadi mengemukakan kesannya terhadap SXSW 2018 saat pertama kali sampai di Bandara Austin. “Kami langsung bisa merasakan suasana festival. Bagi saya, suasana tersebut terasa dekat dengan masyarakat. Ini benar-benar festival yang sangat strategis dan mengaktifkan kota Austin. Seluruh warga Austin disana ikut bangga dan ikut memanfaatkan keramaian festivalnya,” ujarnya. Tepat sehari sebelum Trade Show SXSW 2018 dimulai, para delegasi Indonesia mendapatkan kesempatan berdialog dan mendapat arahan dari Deputy Chairman for Infrastructure BEKRAF, Dr.Hari Sungkari untuk memantapkan visi dan misi masing-masing delegasi dalam kesempatan Trade Show ini, Minikino merupakan satu-satunya organisasi festival film pendek internasional yang diipilih bersama enam perusahaan start-up asal Indonesia, yaitu Kata.ai, Seruniaudio, Saft7robotics, Squiline, Mycotech, dan Vestifarm. Semuanya ditempatkan dalam pavilion Indonesia dengan brand ‘Archipelageek’. Meski seluruh delegasi memiliki kepentingan untuk memperkenalkan dan mempromosikan produknya masing-masing, namun Fransiska Prihadi menegaskan bahwa delegasi Indonesia sangat menjaga kekompakan dengan saling mengenal produk satu sama lain serta saling mendukung promosi seluruh delegasi di Archipelageek SXSW2018. “Setelah berkenalan dengan mereka satu per satu, saya makin bangga pada kemampuan bangsa Indonesia. Semuanya hebat, dan saya rasa komite kurasi Bekraf cukup bernyali untuk membawa mereka. Sebab mereka bukan brand yang sudah besar, tapi Bekraf percaya potensi mereka dan mengambil resiko itu,” imbuhnya. Selama empat hari berpameran, Minikino menarik perhatian banyak pengunjung SXSW 2018 dengan Digital Totem Film Library serta foto-foto yang dipajang di booth. Made Suarbawa turut menceritakan pertemuannya dengan salah seorang pengunjung yang terharu melihat foto anak-anak yang sedang menonton Pop-Up Cinema (Layar Tancap). Foto ini diambil oleh tim dokumentasi ‘Saya Bercerita’ pada ajang 3rd Minikino Film Week tahun lalu. “Bapak itu sampai menitikkan airmata melihatnya. “Anak-anak saya disini bisa dengan mudah pergi ke bioskop. Mereka yang disana justru tidak memiliki akses untuk menonton film layar lebar,” tuturnya. Di hari terakhir Trade Show, tanggal 14 Maret 2018, Minikino beserta seluruh delegasi Indonesia berkesempatan memberikan presentasi dalam acara “The Power of Indonesian Creative Economy” atas undangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Houston, Indonesian-American Chamber of Commerce of Southeastern Central USA (IACC-SCU) dan BEKRAF. Acara ini dibuka dengan sambutan dari Konsul Jendral RI untuk Amerika, Dr. Nana Yuliana dan Deputi Pemasaran BEKRAF Joshua Puji Mulia Simandjuntak. Dalam kesempatan ini Minikino memaparkan profil, visi dan misi kerja Minikino sebagai organisasi festival film pendek internasional berbasis di Bali . Keikutsertaan di SXSW Trade Show 2018 untuk Minikino membuahkan berbagai pertemuan secara kelembagaan dengan beberapa festival film di Amerika, antara lain Austin Asian American Film Festival, Austin Film Festival, Cinelas Americas dan Montana Film Office. Selain juga pertemuan langsung dengan akademisi professor Andrew Garrison dan beberapa filmmaker yang hadir di SXSW. Pertemuan ini juga menghasilkan kesepakatan tak tertulis (gentleman agreement) dengan Austin Film Festival untuk saling bertukar program film pendek di tahun 2018 dan melihat kemungkinan kerja sama jangka panjang. Di Indonesia sendiri, dengan keberangkatan Minikino sebagai bagian pavilion Indonesia - Archipelageek di SXSW Trade Show 2018 ini mempertegas pengakuan pemerintah Indonesia kepada berbagai program kerja Minikino, antara lain jaringan pertukaran program film pendek nasional 'Indonesia Raja' serta program pertukaran film pendek antar negara di Asia Tenggara 'S-Express' yang telah berjalan 15 tahun lebih. Sebelum SXSW 2018, Minikino sudah mendapat perhatian dari para pembuat film, produser dan distributor film pendek di Amerika. Minikino Film Week tahun lalu bahkan telah menganugerahkan International Award kepada Graciela Sarabia untuk karyanya "Carrot & Pickle" yang meraih gelar film internasional anak anak terbaik 2017. Namun, dengan menghadiri SXSW 2018, pertemuan langsung dengan lebih banyak pihak dan kolaborasi di masa mendatang, hal ini juga semakin menguatkan posisi brand Minikino di masyarakat Amerika, khususnya yang memiliki perhatian terhadap film pendek. REDBASE Foundation will open the exhibition titled "UNDER THE SKIN" an artist in residence exhibition #9 by Citra Sasmita
Opening: Saturday, 31 March 2018, 4 pm Venue: REDBASE Yogyakarta Ds. Jurug RT 02, No. 72 Bangunharjo, Sewon, Bantul Yogyakarta 55187 INDONESIA Performance by: Ayu Permata Sari Exhibition period: 31 March - 28 April 2018 Ending her residency at Redbase Foundation Yogyakarta, Citra Sasmita will hold her solo exhibition entitled Under The Skin. This exhibition is the final presentation of Citra’s residency in Redbase Foundation Yogyakarta for approximately three months. Citra Sasmita is a young artist born in Tabanan, Bali March 30, 1990. She took her formal education at Udayana University of English Literature Department and Department of Physics at Ganesha University of Education. Although she hasn’t took a formal education in art, she began her artistic career as a short story illustrator for Bali Post since 2012. Her works mostly show women’s world theme, especially in the context of Balinese culture that is strongly dominated by patriarchal nuances and sexuality. During her three month residency at the Redbase Foundation Yogyakarta, Citra has explored the theme of women in the context of Javanese culture, which is reflected through the social relationship between the female body with space and time. Citra perceives traditional market as a social contestation space for women who are soft but egalitarian as well. For her, the traditional market is an open space to bring people together from diverse backgrounds. Despite her deep exploration of women in the context of Javanese culture, in some of her works, Citra still uses her previous visual idioms. For her, this is her body’s experience in absorbing two different cultures |
Authorsenidibali is an independent platform that promotes arts, artists, exhibition, art events and art spaces in Bali. Archives
November 2019
Categories |