The well known street artist - Slinat - will held a "Wheat Paste After the Street Workshop" this Saturday at Rumah Sanur. Wheat paste is one of the weapons used by street artists to paste images on the wall. Activists and various subculture proponents often use this adhesive to flypost propaganda and artwork. Easy, fast and Bomb! This workshop will invite the participant to create a work by tide patch technique, onto the medium (cardboard or cloth) by using wheat paste, and you can paint it with spray paint typically used by street artist. In conjuction with this program that initiated by Ketemu Project, Slinat will also showcasing his recent works that will be happen from 24 March - 14 April 2018 also at Rumah Sanur. I Lope Bali is just a prank to parodied I Love Bali, "Lope" here does not mean anything just for a joke. In this showcase, Slinat still holds the theme of -X Visit Bali Year X- theme that he always brought since the end of 2012, either in street art or his painting’s works. This theme parodies the jargon of the government and big business entrepreneur "Visit Bali Year", revealing the reality of Bali behind the "Bali" offered by tourism or Bali that is covered up by the interests of tourism. Bali Behind Exotic (Degung Santikarma). In this showcase, Slinat presents works focusing on technique and material exploration. Slinat is interested in using environmentally friendly materials or reusable materials. Technically, he adapted the wheat paste process he used when making street art work, other than mural. Wheat paste technique makes it easy to make street art piece in a shorter time. This technique is then adapted for artworks with secondhand materials such as old traditional fabrics, wood, and cardboard as the painting’s medium. He also explored his drawing skill with a ballpoint on an old and yellowed children's coloring book. In other works, he used a spray paint that was cracked on a used drum cover. Last but not least, he is now digging back the china ink (natural ink) on the canvas, a technique that Slinat ever tried in 2009 and want to explore the possibilities even more. SLINAT 1982 • Bali Slinat was born in 1982 in Bali, Indonesia where he currently lives and works. He is graduated from the Indonesian Institute of Arts (ISI) Denpasar, Bali and known as street artist with his alias name Slinat since 2009. Slinat's street artworks are easily recognizable with images of ancient Balinese women who wear a gas mask. He owns a merchandise shop of his upcyled project known as 'Art of Whatever Store'. Slinat has participated in various group exhibitions since 2007 including two international exhibitions in the United States in 2007 and 2010. His recent group exhibitions include: Crossing: Beyond Bali Seering (Melbourne, 2016), Urban Gigs, Buyung, Bali (2016 ); #Glued, Gardu House, Jakarta; PSOFA (Portable Sculpture of Functional Art), Sudakara Art Space, Bali (2015); Upcycle Heroes, Art Zoo, Bali. His recent solo exhibition is "Visit Bali Year" held in July 2017 at Uma Seminyak, Bali.
0 Comments
23-25 Maret, 2018 – Cata Odata berkolaborasi dengan The Necessary Stage (Singapura) dan WAFT-LAB (Surabaya) akan mengadakan pementasan monodrama berjudul ‘untitled cow number one’ (UCNO) atau ‘sapi tak berjudul nomor satu’ yang bertempat di GEOKS Art Space, Singapadu, Bali. Acara ini merupakan bagian dari CO.Lab, sebuah program Cata Odata yang diharap mampu meningkatkan pertemuan antara para seniman dan pelaku kreatif dengan latar belakang sosial budaya berbeda. Ratna Odata, salah satu pendiri Cata Odata, berkata,”Cata Odata Laboratory atau disebut CO.Lab, terbuka bagi mereka yang memiliki semangat untuk berkolaborasi serta berbagi pengalaman dan pengetahuan. Program ini diadakan setidaknya setahun sekali diikuti dengan workshop kreatif dan sesi percakapan bersama, kali ini dengan para tim UCNO.” Monodrama ini akan dipentaskan sebanyak 2 kali pada hari Jumat, 23 Maret dan Sabtu, 24Maret 2018 pukul 19.00 WITA. Durasi pertunjukan sekitar 30-40 menit dan setiap pertunjukan akan ditutup oleh diskusi selama 30 menit di mana para peserta bisa terlibat dalam percakapan dengan tim kreatif dan produksi dari UCNO. Produksi ini hanya bisa direalisasikan dengan bantuan dan dukungan dari para individu, profesional, dan komunitas teater lokal yang begitu suportif. Di antaranya adalah Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., MA yang melanjutkan legasi GEOKS Art Space untuk tetap berkontribusi dalam mengembangkan skena seni lokal, Anom Wijaya Darsana dari Antida Music Productions yang telah dikenal secara aktif dalam keterlibatannya di berbagi bidang industri seni pertunjukan, perusahaan sewa sistem dan produksi pencahayaan Circle Lighting di Bali, serta Uma Seminyak sebagai ruang inklusif yang selalu mewadahi acara-acara kreatif anak muda. UCNO memiliki beberapa program pendamping seperti lokakarya akting oleh Gloria Tan, DIY sound device (swakriya perangkat suara) oleh WAFT-LAB dan sebuah diskusi terbuka mengenai pentingnya praktek interkultural pada penciptaan seni pertunjukan. Semua rangkaian acara ini akan dilangsungkan di hari Minggu, 25 Maret 2018, secara bergantian dari pukul 14.00-18.00 WITA di rumah seni Cata Odata, Ubud. Monodrama adalah drama yang dimainkan atau dirancang untuk dimainkan oleh seorang aktor. Berbeda dengan monolog yang adalah cuplikan dari naskah atau ide cerita utuh, monodrama memiliki komposisi utuh layaknya drama yang memiliki babak awal, tengah dan akhir. Monodrama UCNO adalah naskah yang dibuat oleh Haresh Sharma, penulis naskah tetap The Necessary Stage sejak 1990. Sepuluh naskahnya telah dipentaskan, dialihbahasakan ke bahasa Malaysia, China, Yunani, dan Italia. Ia juga telah berpartisipasi di sejumlah festival penulis internasional. Naskah UCNO sendiri sudah pernah ditampilkan di Macau International Fringe Festival (2000), Asian Theater Festival di Busan (2002), National Theatre Festival di New Delhi (2003), dan M1 Fringe Festival di Singapore (2015). Pada pementasan ini, Gloria Tan hadir sebagai aktor yang membawakan sebuah cerita tentang perjalanan masa 12 hari berkabung dari seekor janda sapi. Pertunjukan ini akan dibagi menjadi 12 bagian dan dilengkapi dengan teks terjemahan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang tersedia pada layar untuk hadirin. Gloria Tan berbagi pada kami mengenai bagaimana ia melihat dirinya berproses sejauh ini, “Teksnya bisa dikatakan cair dan terbuka terhadap berbagai interpretasi dan untuk penampilan khusus ini, saya mendasarkan struktur emosional peran sesuai dengan kehilangan dan kesedihan personal yang pernah saya jalani, dan mungkin masih saya alami. Bentuk interpretasi ini ada untuk saya, akan selalu tumbuh dan selalu berubah, tergantung aktor yang memerankannya.” Alvin Tan, pendiri The Necessary Stage, ketika ditanya mengenai mengapa The Necessary Stage memilih naskah ini untuk dibawa ke Bali berujar, “untitled cow number one adalah salah satu naskah Haresh yang paling terbuka melibatkan seniman lain sebagai kolaborator. Temanya pun dapat dimaknai secara universal, tentang kondisi manusia yang menginvestasikan semua emosi yang dimilikinya dalam satu sumber kebahagiaan, dan kehilangan identitas di saat hubungan tersebut berakhir. UCNO membawa seluruh tim melalui perjalanan karib yang disarikan ke dalam pementasan 1 jam ini. Itu adalah sesuatu yang ingin kami bagikan kepada teman-teman di Bali. Untuk bertukar pikiran dan melihat bagaimana, mengapa, dan di mana kita terhubung. Memang telah menjadi sebuah hadiah tersendiri mengenal Ratna, Ajeng, Cata Odata, Azy (Manajer Produser Panggung), Mish (Manajer Tur), dan WAFT-LAB. Saya sangat menantikan berbagi dengan para hadirin di Bali.” WAFT-LAB, sebuah kolektif yang sudah lebih dari 10 tahun aktif dalam pengembangan seni interdisipliner di Surabaya melibatkan 6 personilnya untuk membuat bentuk audio danvisual pementasan ini. Salah satu pendirinya, Helmi Hardian mengatakan, “Ini adalah kali pertama WAFT-LAB membuat karya untuk pementasan teater. Kami selalu mengerjakan wilayah audio, visual, atau pencahayaan di project-project sebelumnya. Yang berbeda kali ini adalah kami harus mendukung emosi di setiap babak yang kemunculannya selalu berbeda, runut, dan kadang malah tiba-tiba berubah. Kami bereksperimen dengan memahami naskah, berdiskusi, mencari referensi, dan jamming bareng. Sering kami mengutak-atik alat musik dan membuat simulator pencahayaan untuk coba-coba.” Untuk pementasan ini, WAFT-LAB membuat pencahayaan dalam bentuk polygonal sederhana yang dapat berubah bentuk saat animasi dijalankan di setiap adegannya. Eksplorasi suara yang mereka lakukan pun akan dijadikan sebagai latar. Ini semua agar harmoni antara aktor, suara, dan cahaya dapat berjalan secara beriringan. Pendaftaran tempat duduk dengan donasi telah dibuka. Informasi selanjutnya mengenai reservasi tempat dan pendaftaran workshop, hubungi: email: [email protected] | Instagram: @cataodata | Facebook Page: Cata Odata
Denpasar – Minikino, organisasi film pendek berbasis di Denpasar-Bali yang merancang dan menyelenggarakan berbagai bentuk festival film pendek yang menjangkau jaringan kerja lokal, nasional dan internasional, mendapatkan kesempatan istimewa untuk berpartisipasi dalam paviliun Archipelageek di South by South West (SXSW) 2018. Festival SXSW adalah ajang seni kreatif dan teknologi terbesar dunia diselenggarakan di Austin, Texas, Amerika Serikat. Archipelageek merupakan paviliun Indonesia dan tahun ini adalah kali ke dua untuk berpartisipasi pada South by Southwest. Paviliun ini akan menampilkan berbagai produk serta talenta terbaik dari Indonesia. Melanjutkan kesuksesan “Archipelageek from Indonesia to SXSW 2017”, BEKRAF tahun ini membawa serta enam start-up yang terpilih dari total 75 start-up yang mendaftar. Sementara itu di bidang musik, tahun ini terdapat 1 musisi dan 2 grup musik yang terpilih melalui kurasi langsung dari komite SXSW 2018. Josua PM Simanjuntak selaku Deputi Pemasaran Bekraf mendorong agar para wakil Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini secara maksimal. “Kami melihat antusiasme yang luar biasa dari para peserta sepanjang proses seleksi dilakukan. Terlihat bahwa SXSW 2018 menjadi momen yang ditunggu sebab dapat menjadi acuan bagi para profesional untuk menunjukkan produk yang dimilki sembari memperluas jaringan.” Ada pun enam start-up, musisi, serta grup musik asal Indonesia lainnya yang akan mendukung kesuksesan Archipelageek di SXSW2018, bersama-sama dengan Minikino ialah Kata.ai, Seruniaudio, SAFT7ROBOTICS, Squline, Vestifarm, Mycotech, Rich Brian, Efek Rumah Kaca, dan Kimokal. Andi Sadha selaku Head of Committee Archipelageek berbagi mengenai suka citanya terhadap kualitas dari para peserta 2018. “Dari proses seleksi, kami melihat potensi dan kualitas produk yang beragam. Di tahun ini, Indonesia perlu berbangga hati karena selain Efek Rumah Kaca, dua musisi lainnya yaitu Rich Brian dan Kimokal dipilih langsung oleh pihak SXSW 2018. Dari bidang perfilman, Minikino yang dikenal sebagai organisasi penyelenggara festival film pendek, juga akan mewakili Indonesia di ajang tersebut,” ungkapnya. Edo Wulia selaku direktur Minikino mengungkapkan rasa syukur atas terpilihnya Minikino sebagai salah satu kontingen Indonesia di festival SXSW 2018. “Bangga rasanya Minikino bisa menjadi bagian dari Paviliun Archipelageek tahun ini. Ini semua hanya bisa terjadi karena kepercayaan dan dukungan positif banyak pihak. Ajang ini akan menjadi kesempatan bagi kita semua untuk menarik perhatian dunia ke Indonesia, khususnya Bali karena festival film kami berbasis di Bali,” ujarnya. Lebih lanjut, Edo menjelaskan tentang Digital Totem Minikino Short Film Library yang akan diaktifkan untuk pengunjung selama festival SXSW 2018 berlangsung. Digital totem tersebut berisi list film-film pendek pilihan, dilengkapi dengan data-data mengenai film-film pendek tersebut, mulai dari filmmaker yang membuat sampai latar belakang produksi serta prestasi yang sudah diraih karya tersebut. “Digital totem ini hanya beroperasi secara offline di lokasi acara. Jadi, pengunjung dapat kesempatan menonton film-film pendek eksklusif, bahkan yang masih dalam distribusi sangat terbatas. Lebih jauh, pengunjung bahkan bisa memberikan rating serta komentar mereka lewat digital totem ini,” imbuhnya.
Menjadi perwakilan tim Minikino untuk berangkat ke Austin adalah Fransiska Prihadi selaku direktur program, bersama I Made Suarbawa, selaku direktur eksekutif untuk Minikino Film Week. Persiapan intensif telah dilakukan sejak beberapa minggu yang lalu dan masih terus dimaksimalkan untuk memberikan yang terbaik bagi Indonesia. Proses perancangan aplikasi pada totem digital, Minikino mendapat bantuan teknis dari I Wayan Gede Suweca Gunadi. Sedangkan untuk tata pakaian, Minikino akan mengenakan beberapa disain fashion dari Siji Clothing selama berada di paviliun. Kabar keberangkatan perwakilan Indonesia ke festival SXSW 2018 juga disambut gembira oleh Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Houston, Amerika Serikat. Sebagai bentuk dukungan KJRI Houston terhadap program Archipelageek, rencananya para wakil Indonesia akan dipertemukan dengan Chamber of Commerce di Houston untuk membangun jaringan kerja yang lebih luas. “Kami berharap kepada masyarakat agar turut mendukung dan memberikan semangat kepada para wakil Indonesia agar tampil maksimal dalam acara akbar ini. Begitupun sebaliknya, semoga kiprah para wakil dari Indonesia ini dapat menjadi semangat baru untuk kemajuan ekonomi kreatif di tanah air,” pungkas Ricky Pesik selaku Wakil Kepala Bekraf. (dilansir dari siaran pers yang dikeluarkan Minikino) “PERJAMUAN TERAKHIR” pameran foto oleh Syafiudin Vifick Uma Seminyak 3 – 11 Maret 2018 Pembukaan, 3 Maret 2018, 18.30 wita. Uma Seminyak akan membuka pameran foto karya Syafiudin Vifick pada Sabtu 3 Maret 2018 pada jam 18.30 wita. Creative Space Uma Seminyak akan diisi instalasi foto dengan tema yang berbeda-beda. Karya-karya foto dalam setiap instalasi yang ditampilkan merupakan kumpulan dokumentasi perjalanan Vifick mengelilingi dan mengamati Bali selama 10 tahun terakhir. Pada malam pembukaan, Teater Kalangan akan hadir dalam format immersive performance. Pameran ini dibuka untuk umum 3 – 11 Maret 2018, di creative space Uma Seminyak yang buka setiap hari mulai pukul 10 pagi hingga 9 malam. Dalam sepuluh tahun terakhir, saya sering berkeliling ke berbagai tempat di Bali. Mengunjungi tempat-tempat yang saya baca di internet, atau sekedar jalan tanpa tujuan dan referensi. Dari tempat yang hits dan populer, hingga tempat terpelosok yang sinyal internet belum menjangkaunya. Mitos bahwa Bali itu indah adalah nyata. Alamnya sungguh kaya akan panorama; sawah terasering yang hijau, danau-danau yang indah, gunung dan bukit yang menakjubkan, desa-desa yang asri, dan pantai-pantai yang selalu dirindukan oleh wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Ditambah adat istiadat yang melahirkan produk seni dan kebudayaan yang amat kaya, tari-tarian, musik tradisional, hingga upacara-upacara adat yang sakral namun sangat menarik untuk dipelajari dan dinikmati. Bali memang surga bagi pariwisata dunia, begitu citranya. Bagaimana menurutmu? Mari datang ke “Perjamuan Terakhir”, kita bicara dan membaca Bali hari ini dengan berbagai sudut pandang...” (Syafiudin Vifick) Syafiudin Vifick adalah seorang visual storyteller. Dengan menggunakan medium fotografi, dia mengerjakan proyek‐proyek personalnya berupa foto essay dan travel story. Dia tertarik pada isu‐isu kemanusiaan (humanity), social – culture, lingkungan, antropologi dan isu‐isu kontemporer. Sehari‐hari Vifick mengerjakan fotografi komersiil dan juga menjadi kontributor di beberapa media. Karyanya dimuat di beberapa media, seperti Sriwijaya Air Magz, National Geographic Traveller Indonesia, senidiharilibur.com dan berbagai media lainnya. Di Bali, dia membentuk komunitas fotografi 'Semut ireng' yang konsen pada fotografi lubang jarum. Kemudian sekarang mendirikan program fotografi #SayaBercerita, yakni sebuah inisatif dan movement untuk bercerita melalui medium fotografi. Program tersebut berupa kelas fotografi, pameran fotografi dan pembuatan buku fotografi. Selain itu, Vifick aktif mengikuti pameran fotografi dan seni rupa, serta mengajar fotografi di berbagai daerah di Indonesia. Kata-kata Perjamuan Terakhir, yang juga dikenal The Last Supper, selalu dikaitkan dengan memori lukisan yang terkenal yang didasari ajaran Alkitab itu. Tetapi fotografer dan visual storyteller, Syafiudin Vifick, tidaklah merespon lukisan tersebut. Ia mengambil kata-kata tersebut secara harafiah sebagai refleksi terhadap apa yang terjadi di Bali setelah reaksi Gunung Agung memberikan dampak negatif terhadap Bali dan dunia pariwisatanya yang terkenal itu. Akankah ini menjadi Perjamuan Terakhir untuk kita semua?
Perjamuan Terakhir ini mengundang para pengunjung untuk membaca Bali dari foto-foto yang disuguhkan sebagai Menu Hari Ini, merasakan Aksi, terror iklan Land For Sale, dan produk-produk industri pariwisata, semua terdokumentasi selama 10 tahun terakhir Vifick menjelajahi Bali. Turis memasal yang ada di Bali telah mengambil banyak kesempatan untuk melakukan apapun yang dapat mendatangkan uang, budayadipergunakan sebagai pencitraan, bisnis berkembang mengambil alih lahan seperti tebing, pantai dan pulau – sebuah dunia kapitalistik di dalam dunia pariwisata tersebut. Sedangkan di luar dunia pariwisata tersebut, orang-orang Bali dan orang-orang yang peduli dengan kondisi Bali yang memburuk mengambil badan jalan dan ruang-ruang terbuka untuk menyuarakan dirinya sesering mungkin – mungkin didengar, mungkin tidak. Dipping in the Kool Aid organized by Mary Lou Pavlovic March 4 - March 31, 2018 Daily 10 am - 5 pm Tony Raka Art Gallery JI.Raya Mas No. 86 Mas, Ubud Bali, Indonesia Opening Reception: Saturday, March 3, 6-8 pm This exhibition celebrates the artistic interactions of Indonesian and Australian artists with prisoners who are incarcerated in Indonesian jails. Collectively, their interests center around the socially beneficial roles played by the prisoner as artist/artistic collaborator, and the artist as prisoner. Examining the role of aesthetics in socially-engaged exhibitions, they ask: how might the consideration of aesthetics contribute to political readings of the works on display? Dipping in the Kool Aid grows from an experimental laboratory run by artists working predominantly in Klung Kung Prison, Bali. Among the artists and collaborations included is Djunaidi Kenyut, who invites prisoners to make self-portraits by etching their own facial features onto postcard-size mirrors. Mary Lou Pavlovic’s Preserving Life Workshop, undertaken with female prisoners, develops a large wall work featuring flowers and deceased butterflies that are donated by the local butterfly park. Imam Sucahyo creates a large multimedia drawing with his imprisoned friend upon visits to Tuban Prison in East Java. In an ongoing project, Elizabeth Gower invites prisoners to create fragile paper collage “Rotations.” This incantation of the project includes 365 fragile paper collages made with materials sourced from discarded packaging in the prison cafe. The exhibition also includes works by Indonesian artist Angki Purbandono, who was incarcerated for one year in Yogyakarta (2013) for smoking marijuana. Angki, refusing to accept his imprisonment, famously declared instead that he was undertaking an artist’s residency, and taught a guard how to take photographs. While in prison, Angki also established the Prison Art Programs, a group of inmates and ex-inmates who exhibit art inside and outside the jail. The group has formed The Prison Art Foundation (Yayasan Seni Penjara) and artworks by the founding members are also included in the exhibition. Borrowing its title from the old American prison slang for entering uninvited into a conversation, Dipping in the Kool Aid also features studio works by internationally renowned artists Rodney Glick and Mangu Putra. Mary Lou Pavlovic is an artist who lives and works between Bali, Indonesia, and Mittagong, Australia. In 2015, she completed a PhD at Monash University, Melbourne, about beauty and how it may be associated with progressive politics in visual arts today. As part of the PhD Pavlovic received an Endeavour Award research fellowship to examine how her studio work was affected by Balinese cultures, this being the reason she moved to Bali. In 2015, after visiting those incarcerated in Indonesian jails, she helped establish an art program in a jail, as prisoners stated they had little constructive activity. Pavlovic is represented by Tony Raka Art Gallery in Bali, Indonesia. apexart’s programs are supported in part by The Andy Warhol Foundation for the Visual Arts, The Buhl Foundation, Bloomberg Philanthropies, The Greenwich Collection Ltd., William Talbott Hillman Foundation, Affirmation Arts Fund, the Milton and Sally Avery Arts Foundation, the Fifth Floor Foundation, and with public funds from the New York City Department of Cultural Affairs in partnership with the City Council and the New York State Council on the Arts with the support of Governor Andrew M. Cuomo and the New York State Legislature. Dipping in the Kool Aid was selected through apexart’s Open Call. For more information or images: [email protected] or visit apexart.org. Menyusul keberhasilan Charcoal For Children edisi pertama di tahun 2016/2017, CCG dan LagiLagi, bersama dengan tiga performing artists ternama dari tiga kota berbeda (Papermoon Puppet dari Yogyakarta, Kawamura Koheisai dari Tokyo, dan Monez & Ninus dari Bali) akan kembali dengan pementasan orisinil yang akan diadakan dalam dua sesi di akhir pekan (2-4 Februari dan 23-25 Februari 2018) di CushCush Gallery (CCG), Jalan Teuku Umar Gang Rajawali No.1A, Denpasar, Bali. Jadwalnya adalah sebagai berikut: • 2 Febuary Pementasan perdana "The Wild World of Siwa & Malini" oleh Papermoon Puppet dan "Sang Kala" oleh Monez & Ninus. • 3 Februari Pementasan reguler "The Wild World of Siwa & Malini" oleh Papermoon Puppet dan "Sang Kala" oleh Monez & Ninus. • 4 Februari Pementasan reguler "The Wild World of Siwa & Malini" oleh Papermoon Puppet. • 23 Februari Pementasan perdana "Monyet Nichioka Mencari Pulau Baru" oleh Kawamura Koheisai dan pertunjukan reguler "Sang Kala" oleh Monez & Ninus. • 24 Februari Pementasan reguler "Monyet Nichioka Mencari Pulau Baru" oleh Kawamura Koheisai dan "Sang Kala" oleh Monez & Ninus. • 25 Februari: Pementasan reguler "Monyet Nichioka Mencari Pulau Baru" oleh Kawamura Koheisai. Tiket dijual seharga Rp 500 ribu (termasuk minuman) untuk pementasan perdana dan Rp 100 ribu untuk pementasan reguler, dengan kursi terbatas 50 saja untuk meningkatkan pengalaman menonton yang lebih intimate dan memuaskan. 50% dari hasil penjualan ticket akan di salurkan untuk men-support kreatif program Charcoal For Children mendatang. Semua pementasan tersebut merupakan hasil lokakarya Charcoal For Children tahun 2017/2018. Diadakan dengan tema 'PlayPlay', edisi kedua ini menyelenggarakan tiga lokakarya dalam rentang bulan September sampai November 2017, yang dilakukan oleh para seniman pertunjukan tersebut di atas. Setiap lokakarya menggunakan metode kreativitas yang berbeda. Papermoon Puppet mengajak anak-anak untuk bercerita tentang pepohonan dengan cara yang berbeda dengan meminta mereka membuat pohon dan boneka dengan menggunakan arang gambar, tinta arang, limbah kayu, dan koran bekas. Dengan Kohey, anak-anak belajar lebih banyak tentang seni bermain bayangan dan membuat wayang kulit, menggunakan kardus, cat dan arang. Monez & Ninuz menggunakan musik untuk mengajak anak-anak bereksperimen, menggerakkan tubuh mereka ke alunan musik sambil memegang arang di kedua tangan, mencoretkannya di sepanjang kertas putih untuk menggambar bebas. 'LagiLagi' adalah sebuah social inisiatif yang dimulai oleh CushCush, sebuah studio desainer dan workshop di Bali yang specialize di desain dan pembuatan furniture, aksesories dan karya seni kontemporer. LagiLagi dimaksudkan untuk membawa kesadaran lingkungan dan misi sosial dari CushCush untuk meneruskan kebaikan desain dan kreativitas kepada generasi penerus, mulai dari usia dini. CushCush Gallery (CCG) di conceive sebagai platform untuk kolaborasi kreatif dalam seni kontemporer + desain. CCG adalah galeri alternatif yang mencakup interaksi dan merayakan kreativitas multi-disiplin melalui eksplorasi persimpangan seni, desain, materialitas, teknik dan kerajinan. Ketika LagiLagi berhasil mengolah potongan sisa-sisa kayu kecil menjadi arang gambar, menjadi jelas bahwa arang gambar yang di up-cycle LagiLagi berpotensi untuk menjadi media untuk mewujudkan misi LagiLagi dalam mendorong kreatifitas anak-anak. Sejalan dengan visi CCG dan sebagai cara untuk memberikan kembali kepada masyarakat, CCG sangat senang berkolaborasi dengan LagiLagi dan memprakarsai program kreatif Charcoal For Children. Informasi lebih lanjut tentang CushCush Gallery, LagiLagi dan kreatif program Charcoal For Children (CFC): Email : [email protected] / [email protected] Telepon : +62 361 242034 / +62 818 05542430 (Sagung) / +62 812 89152130 (Merlins) Facebook : CushCush Gallery / LagiLagi Instagram : cushcushgallery / lagilagi_bali Hibah seni dan budaya pendanaan untuk perempuan pelaku kebudayaan di segala bidang seni, Cipta Media Ekspresi, dibuka untuk publik hari ini 8 Januari 2018 dan akan disalurkan oleh Wikimedia Indonesia. Penerima hibah ditentukan oleh delapan juri perempuan independen, yaitu Aleta Baun (aktivis lingkungan dan politisi), Andy Yentriyani (aktivis perempuan dan keberagaman), Cecil Mariani (perancang grafis dan pelaku koperasi), Heidi Arbuckle (penggagas hibah Cipta media dan peneliti sejarah senirupa), Intan Paramaditha (penulis fiksi dan pelaku kajian media), Lisabona Rahman (Ketua Juri, pelaku arsip dan pendataan sejarah film), Naomi Srikandi (aktor/sutradara teater dan pegiat jaringan antara seniman dengan aktivis), Nyak Ina Raseuki (pesuara dan etnomusikolog).
Lisabona Rahman sebagai Ketua Juri Cipta Media Ekspresi menyatakan bahwa dalam sejarah seni dan kebudayaan di Indonesia sedikit sekali jumlah perempuan yang diakui sebagai pemikir kebudayaan dibandingkan dengan rekan-rekan sejawatnya yang laki-laki. Sebagai akibatnya, teks-teks kebudayaan sebagian besar diproduksi laki-laki dan dijadikan acuan budaya dan seni. Hibah Cipta Media Ekspresi diharapkan menjadi cara pendanaan yang mengerti apa artinya hidup sebagai pencipta perempuan karena, "Karya-karya pikiran dan ekspresi perempuan untuk dianggap dan direkam memerlukan infrastrukturnya sendiri, salah satunya adalah perlunya uang atau dana,” ujarnya. Juri Anggota, Intan Paramaditha, mengemukakan bahwa regenerasi dalam kelompok kesenian di Indonesia dan yang ditokohkan kebanyakan adalah laki-laki. Perempuan dirugikan karena bias gender dan hubungan relasi kuasa yang tidak seimbang, dimana "karya-karya yang muncul, walaupun melibatkan perempuan, sering kali tidak menyuarakan pengalaman perempuan," ujarnya. Sementara Juri Anggota lainnya, Naomi Srikandi, mengemukakan ada banyak peristiwa-peristiwa yang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia dimana orang-orang yang dikalahkan oleh kekuasaan yang lebih besar seperti; penggusuran, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan penghinaan. Seniman memiliki tanggung jawab mengangkat hal ini, dan hibah Cipta Media Ekspresi diharapkan dapat mendukung perempuan pemberani yang mampu membaca situasi sekitarnya dan mengangkatnya. Juri Anggota lainnya, Nyak Ina Raseuki (Ubiet) mengharapkan kesenian tradisi dapat ikut serta dan diakses oleh perempuan pelaku kebudayaan dari Indonesia Timur. Jumlah total hibah Cipta Media Ekspresi adalah 3,5 milyar rupiah untuk mendanai kegiatan seni dan budaya yang dapat diselesaikan sebelum 28 Februari 2019. Dana ini dapat digunakan perempuan pemohon hibah untuk membuat, mengkaji, melakukan perjalanan serta menampilkan karya. Perempuan penerima hibah bisa jadi pencipta (penulis, penampil, penyair, pelawak, perupa, penenun/perupa kain, perupa gerabah/keramik, perupa lansekap/taman, penari, pesuara, seniman makanan, dan sebagainya), pengkaji (dari arsip dokumen sejarah) mengenai seni budaya dan sejarah pemikiran/praktik yang dihasilkan oleh perempuan, periset, perancang pameran/pertunjukan, atau penulis tentang karya atau perempuan pelaku seni budaya. Permohonan hibah dapat dilakukan daring via www.ciptamedia.org atau via formulir cetak yang akan dikirimkan ke kantong-kantong seni dan budaya di Indonesia Timur yang sulit jaringan internet. Pendaftaran hibah ditutup tanggal 25 Maret 2018 dan penerima hibah diumumkan pada tanggal 21 April 2018. Pada edisi bulan Januari 2018, screening dan diskusi bulanan Minikino membuka tahun yang baru dengan mepersembahkan program film pendek bertajuk Minikino Film Therapy. Program film pendek ini mengangkat konsep unik memperkenalkan karya film pada fungsinya yang lebih serius daripada sekedar hiburan. Dalam ilmu medis terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental, film ternyata juga digunakan sebagai suplemen untuk terapi psikologi. Bahkan sudah banyak buku mulai ditulis. “Film therapy adalah penggunaan film yang dibuat untuk layar lebar atau televisi untuk tujuan terapi”, begitu menurut salah seorang pakar psikologi bernama Gary Solomon, PhD, MPH, MSW, yang juga pengarang buku "The Motion Picture Prescription and Reel Therapy". Namun lebih lanjut, Edo Wulia sebagai programmer film pendek bulan ini juga menekankan bahwa film sebagai refleksi suatu gagasan dan emosi, tentu tidak terbatas hanya memengaruhi penonton saja, namun juga bisa mempengaruhi semua pihak yang terlibat dalam produksi. Bentuk pelatihan produksi film untuk tujuan pembentukan karakter, merangsang kesadaran kerja sama serta membentuk karakter kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan pelatihan yang telah beberapa kali dilakukan Minikino dengan hasil yang memuaskan. Program Minikino Film Therapy menayangkan 5 karya film pendek internasional, masing-masing berjudul: M.E. dengan sutradara Alexandra Hohner dari Inggris, berdurasi 3 menit 10 detik FRIED BARRY, sutradara Ryan Kruger dari Afrika Selatan, durasi 3 menit 32 detik ESTELA, sutradara Hilda Lopes Pontes dari Brazil, durasi 23 menit LITUANIA, sutradara Iker Arce dari Spanyol, durasi 19 menit 59 detik AXIOMA, sutradara Elisa Possenti dari Italia, durasi 15 menit 22 detik Durasi total seluruh tayangan adalah 66 menit, yang seperti biasa akan diakhiri dengan tanya jawab santai yang dimoderasi bersama penonton. Edo Wulia dalam mempersiapkan program ini juga secara khusus menghubungi beberapa pihak, salah satunya adalah ibu Birgit Wolz, Ph.D., MFT, pengarang buku dan juga seorang praktisi psikoterapi berbasis di California, Amerika Serikat. Ibu Birgit Wolz melakukan terapi kejiwaan menggunakan film sebagai medium terapinya. Klip video pendek dari Ibu Birgit akan membuka tayangan program Minikino Film Therapy dengan sebuah pengantar singkat bagaimana film therapy bekerja. Di Denpasar, Minikino juga menghubungi Yohanes K. Herdiyanto, ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali yang bertempat di Rumah Berdaya, jl. Hayam Wuruk, Denpasar. Dalam kesempatan ini Minikino mengundang Yohanes K. Herdiyanto dan KPSI untuk ikut meramaikan acara sekaligus menjadi nara sumber bagi penonton umum yang mungkin penasaran tentang KPSI. Program Minikino Film Therapy akan ditayangkan di 3 tempat pemutaran yang berbeda, jadwal terdekat adalah di Rumah Film Sang Karsa, Buleleng, pada hari Sabtu,13 Januari 2018, kemudian Minihall Irama Indah, Denpasar, Sabtu, 27 Januari 2018, dan juga di Universitas Sanata Dharma ruang Observasi, Fakultas Psikologi di Yogyakarta, Senin, 29 Januari 2018. Semua acara terbuka untuk umum, namun konten tayangan ini mungkin kurang dipahami untuk usia penonton anak-anak. Lebih detail mengenai jadwal, sinopsis film dan acaranya dapat dengan mudah dilihat di situs web http://minikino.org/monthly-screening-jan-2018 Selain sebagai perkenalan awal untuk bidang psikoterapi Cinema Therapy, program film ini tetap mempertahankan unsur hiburannya, karena ditujukan untuk penonton umum dan bahkan yang masih awam. Minikino sebagai organisasi film pendek yang pertama di Indonesia, telah memulai aktifitasnya sejak tahun 2002. Salah satu kegiatan yang dirancang pertama kali pada masa awal adalah Screening & Diksusi Bulanan. Sesuai namanya, kegiatan ini berlanjut secara rutin setiap bulan, terus menerus dilakukan sampai saat ini. Kegiatannya utama dalam mempersiapkan Screening & Diksusi Bulanan mencakup pengkurasian film-film pendek, perencanaan program dan mengurus perijinan penggunaan film. Kemudian mengurus ijin penggunaan tempat acara, serta melakukan publikasi acara. Kerja rutin ini kemudian ditutup dengan pengarsipan. Tentu saja semua ini memerlukan dedikasi tenaga dan pikiran yang tidak sedikit, namun setelah berlangsung berulang kali akhirnya semuanya menjadi semakin terbiasa. Seiring juga dengan berkembangnya pilihan film yang tersedia dan reputasi yang terbangun selama lebih dari 15 tahun. Semua pekerjaan dilakukan dan diatur bersama para relawan yang bekerja secara bergantian di dalam organisasi Minikino dari tahun ke tahun. CHARCOAL FOR CHILDREN (CFC) 2017/18 is ON! 2 CFC workshops in September & October has been done and they will having the 3rd this weekend! CushCush Gallery is organizing and presenting a series of 3 CHARCOAL FOR CHILDREN (CFC) 2017/18 workshops. This time their theme is PLAY PLAY, and they will PLAY! and have a lot of fun! "We do realize that playing is one of the biggest part in our childhood that helps us discover more about our personal interest, hobby and also our dream! that’s why this year we will PLAY a lot during CFC workshops!" said one of the team member. Together with the invited artists/ performing groups, this year CFC will explore and discover more about our local heritage in puppets, mask, shadow puppets, combine with music, dance and theatrical performance, by using LagiLagi DIY charcoal and up-cycling material to create properties for CFC 2017/18 charity performance in February 2018. For 1st session, CFC had one of Indonesia’s renown performing group: Papermoon Puppet Theatre from Yogyakarta! known for their wonderful performances such as ‘Secangkir Kopi dari Playa!’, ‘Mwathirika’, and many more! CushCush Gallery working together with LagiLagi were very delighted to have Papermoon Puppet Theatre for a residency program in Bali, to collaborate and PLAY with children and our local creative communities. For the 2nd session, LagiLagi collaborate with Kawamura Koheysai, a multitalented Japanese contemporary artist/ shadow puppeteer who travels around Indonesia such as Jakarta, Kalimantan, Yogyakarta, and finally now in Bali, to study and make a research about Wayang (shadow puppet). As a solo player, Kohe-san always combine unique stories & music throughout his performance, this will be a really distinctive collaboration with the children! And finally, on the 3rd session, they will have Monez & Ninus! Monez is a Balinese artist known for his ‘Fablelous’ style, a combination of words & fable, inspired by boundless imagination also animal/monster spirit character. And Ninus, who is an architect graduate from Bandung, who is now living in Bali as a contemporary dancer, inspired by space and movement. This will be a very interesting collaboration since both of them have a different background and approach. We are looking forward to their magic! CHARCOAL FOR CHILDREN workshop is part of LagiLagi – a social initiative, that combines all the things that they love and are passionate about: which is about art, creativity, design & good education for children. This program aims to give back to our local communities & environments, by making upcycling products, made from our production off-cuts and sell them through creative bazaar, consignment & making DIY workshops, as part of our fundraising project. Profits then goes to creating meaningful creative program such as Charcoal For Children.
For more info about LagiLagi and Charcoal For Children program, please do not hesitate to contact us: Email: [email protected] Phone: 0361 242034/ Merlins 0812 89152130 FB: LagiLagi IG: lagilagi_bali Having graduated from graphic art -Alfin Agnuba & Kurma Elda Gustriyanto- and painting -Valentino Febri, Putu Sastra Wibawa, I Made Agus Darmika, & I Putu Cipta Suryanta- questioned the same anxiety; How will they survive as an artist? How to keep their arts sustain? What is the strategy that fit them best as an artist in the art world? Hence, they collectively create a visual art exhibition to showcase their best talent. More than 20 pieces artworks of 2 dimensional, 3 dimensional, mural, and art installation are exhibited at Karja Art Space, from 21 October to 30 October 2017. "Perhaps the period of time with sense of contemporaries, which frames their meetings: a group of almost identical youths, in the same age, with a pulsating social experience that is not much different? Or, perhaps also about the place; the city of Jogjakarta where they are simultaneously building melancholy, exploring the possibilities, and composing the identity. They also share space and time with others. Just in the name of fine arts, they give reasons for its existence. Art as a mantra, as well as their 'home' to give the names and meanings of the various experiences they collect", this is how Rain Rosidi a writer from Jogjakarta see the main reason why these 6 artist having this group exhibition. These six young people have different backgrounds. Some come from Bali, and others from Java. The sources of reference, taste, technique and style they chose in their work were different. They are Alfin Agnuba, Putu Sastra Wibawa, Kurma Elda, Valentino Febri, Putu Cipta Suryanta, and I Made Agus Darmika. Just because of art they meet, and eventually build a joint rite, the art exhibition. The exhibition became one of their efforts to name and values the traces of their experiences. Although as if it were random, the sixth formation was not a coincidence. It is said that some people think that art is an institutionalized (incidentally) subculture. These six young people are in the social network of visual art, which has its own unique social system and reflection space. Differences in the background and choice of art media do not preclude their meetings. Art has an open spirit. They go through conversations, share languages, and share values. And this exhibition, in fact, is the footsteps and artifacts of their activities that are shared on audiences. For further information on the exhibition please contact:
Ruth Onduko (exhibiton manager & media relation ACxDC project) [email protected] | 081239576836 Contact Person Gallery: Putu Sridiniari(Karja Art Space Manager) e. [email protected] | m. +6281281099940 Karja Art Space Jl. Pacekan 18, Penestaan, Sayan, Ubud, Sayan, Ubud, Gianyar, Bali 80571 Google maps Pin: Santra Putra Guest House Link: https://goo.gl/maps/FC2PYEQZRA22 Phone number: (0361) 977810 |
Authorsenidibali is an independent platform that promotes arts, artists, exhibition, art events and art spaces in Bali. Archives
November 2019
Categories |